Suku (Orang) Laut. Komunitas terpinggir
di tengah hiruk pikuk industri pariwisata Bintan.
Cukup jauh dari Bandara Raja Haji
Fisabilillah Tanjung Pinang. Tepatnya di Desa Air Kelubi, kelurahan
Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Bintan terdapat sekelompok orang
sampan. Penduduk sekitar mengenalnya hanya dengan sebutan Suku
(Orang) Laut.
Akhir bulan Mei lalu, saya yang
mendapatkan undangan Wonderfull Kepri akhirnya tiba di pulau Bintan,
Kepulauan Riau setelah melalui prosesi perkenalan pariwisata, yang
juga promosi hotel dan resor di kawasan Bintan, akhirnya menemukan
satu komunitas yang dapat dikatakan jauh dari hingar bingar industri
pariwisata Kepulauan Riau.
Jaraknya kurang lebih 29 km dari
bandara. Dari pembicaraan dengan masyarakat setempat, Suku Laut
dulunya berperan dalam menjaga selat-selat, mengusir bajak laut,
memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan
Malaka dan Kesultanan Johor, dan mempertahankan hegemoni mereka di
daerah tersebut.
Untuk memasuki perkampungan suku laut
ini, saya harus meminta ijin terlebih dulu kepada toko material.
Karena memang jalan masuk menuju perkampungan suku laut tepat berada
di beranda belakang toko itu.
Ijin didapat, saya pun mulai menyusuri
jembatan beton yang lebarnya tidak lebih dari satu meter untuk menuju
ke perkampungan. Hutan mangrove menyambut di kanan dan kiri. Tidak
lebih dari 5 menit berjalan kaki menyusuri jembatan, tibalah saya di
perkampungan atas air. Tidak lebih dari 20 bangunan atas air yang ada
di sana. Setiap rumah didominasi oleh bahan kayu, meskipun ada
beberapa rumah yang sudah dibeton, itu pun karena bantuan pemerintah.
Saat itu, air laut sedang
surut-surutnya. Dan tanpa pikir panjang, saya langsung melepaskan
sepatu dan melipat kaki celana panjang. Karena untuk mendekati
perkampungan itu, saya harus melewati lumpur setinggi betis.
Setidaknya, sejak tahun 1960-an, suku
laut ini mulai membuat pondokan di kawasan Kawal. Seperti yang
dikatan Aman Arafah, sesepuh di pemukiman ini. Awalnya hanya sekitar
4-5 kepala keluarga yang datang. Saat ini mereka berjumlah sekitar
belasan kepala keluarga. Mereka berdatangan dari pulau Kubung. “30
menit menggunakan speedboat dari Batam,” kata pria setengah baya
ini.
Saat ini, kata Aman, pemerintah sedikit
membantu kehidupan suku laut yang bermukim di kawasan Kawal. “Mereka
mulai membangun pondokan untuk kami. Mendata untuk KTP dan KK.
Sebelumnya jangan harap ada uluran tangan,” katanya. Untuk listrik,
secara swadaya mereka membeli generator. “Sampai sekarang PLN
belum bisa masuk,” katanya.
Hari memang masih siang, sekitar pukul
11.00. Tak heran jika yang terlihat hanya kaum hawa, karena para
lelaki sedang melaut dari sebelum shubuh hingga sore hari sebelum
matahari terbenam. Jangan bicara soal mesin canggih. Suku laut ini
lebih menyukai getek ketimbang kapal motor untuk melaut. Alatnya pun
hanya pancing dan tombak.
Keberadaan suku laut ini memang sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu. Hal ini saya dapat rasakan dari
dialek Melayu mereka yang sangat kental. Maklum, perjumpaan mereka
hanya sebatas rumpun Melayu.
Meski memiliki kedekatan dengan budaya
Melayu, suku laut ini tidak semua beragama Islam. Animisme masih
mendominasi kebanyakan dari mereka. “Di KTP Islam,” kata Santi,
ibu 2 orang anak yang merupakan anggota suku laut dengan dialek
Melayu kental.
Namun, suku laut ini memang masih sulit
untuk tinggal di darat. Walaupun sudah generasi ke sekian. Hal ini
karena pandangan mereka yang menganggap hidup ada di laut, sementara
daratan hanyalah tempat untuk mengubur jasad mereka yang sudah mati.
Setidaknya, itulah yang dikatakan Santi. Nah, jangan heran jika
bertatap muka langsung dengan mereka yang masih tinggal di laut. Mata
merah, rambut acak-acakan dan tidak suka bicara dengan orang asing
dari daratan.
Dulu, kata Santi, orang tua mereka
melakukan segala kegiatan di atas sampan. Sampai urusan kawin mawin.
“Dulu, jika mau berhubungan badan, cukup menyilangkan dayung di
samping sampang,” katanya. Begitulah tanda do not disturb ala suku
laut.
Nah, pada pertengahan tahun 2010,
pemerintah setempat baru mulai untuk merangkul suku laut. Hal ini
dibuktikan dengan pembuatan KTP dan KK bagi mereka, anggota suku
laut. Ada yang menerima ada pula yang tidak. Bagi mereka yang
menerima, tentunya anak mereka dapat bersekolah, tapi bagi anggota
suku yang menolak, tentu saja tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya.
Beberapa orang yang menolak tentu akan
terasing dengan sendirinya. Paling tidak, dengan penolakan itu,
mereka kembali hidup di laut luas. “Banyak juga orang yang kembali
ke laut karena tidak mau mengikuti anjuran pemerintah,” katanya.
Dalam hal ekonomi, tidak ada perputaran
uang dalam komunitas mereka. Suku laut masih mengenal sistem barter
antar anggota suku. Hal ini saya ketahui ketika melihat banyaknya
perhiasan emas seperti anting, kalung dan gelang yang dikenakan
Santi. “Oh, ini hasil barter saja. Kalau ada orang yang perlu
sesuatu, biasanya dibarter dengan barang yang setara nilainya,”
katanya. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka berdagang ikan di pasar
Kawal. Paling tidak, kata Santi, kebutuhan rumah sudah terpenuhi,
sisanya untuk dijual. “Tidak lebih, tapi juga kami tidak
kekurangan. Cukup saja,” katanya.
Menarik. Di tengah perputaran uang,
setidaknya di kawasan resor di Bintan, yang sudah mulai menggunakan
dolar singapura, ada komunitas yang masih menggunakan barter sebagai
metode jual beli. Sangat jauh dari kesan modern yang ditawarkan oleh
pemerintah kepada wisatawan asing.
Suku laut, satu dari banyak komunitas
di Indonesia yang mampu memberikan pelajaran berharga tentang
keberagaman, sejarah panjang dan prinsip hidup yang patut menarik
untuk disimak kembali. Setidaknya untuk menyadarkan kita bahwa ada
kelompok yang mampu hidup tanpa embel-embel modern. (AK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar