Cari Blog Ini

Jumat, 29 Mei 2015

Suku Laut dalam himpitan industri pariwisata

Suku (Orang) Laut. Komunitas terpinggir di tengah hiruk pikuk industri pariwisata Bintan.

Cukup jauh dari Bandara Raja Haji Fisabilillah Tanjung Pinang. Tepatnya di Desa Air Kelubi, kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Bintan terdapat sekelompok orang sampan. Penduduk sekitar mengenalnya hanya dengan sebutan Suku (Orang) Laut.

Akhir bulan Mei lalu, saya yang mendapatkan undangan Wonderfull Kepri akhirnya tiba di pulau Bintan, Kepulauan Riau setelah melalui prosesi perkenalan pariwisata, yang juga promosi hotel dan resor di kawasan Bintan, akhirnya menemukan satu komunitas yang dapat dikatakan jauh dari hingar bingar industri pariwisata Kepulauan Riau.

Jaraknya kurang lebih 29 km dari bandara. Dari pembicaraan dengan masyarakat setempat, Suku Laut dulunya berperan dalam menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut.

Untuk memasuki perkampungan suku laut ini, saya harus meminta ijin terlebih dulu kepada toko material. Karena memang jalan masuk menuju perkampungan suku laut tepat berada di beranda belakang toko itu.

Ijin didapat, saya pun mulai menyusuri jembatan beton yang lebarnya tidak lebih dari satu meter untuk menuju ke perkampungan. Hutan mangrove menyambut di kanan dan kiri. Tidak lebih dari 5 menit berjalan kaki menyusuri jembatan, tibalah saya di perkampungan atas air. Tidak lebih dari 20 bangunan atas air yang ada di sana. Setiap rumah didominasi oleh bahan kayu, meskipun ada beberapa rumah yang sudah dibeton, itu pun karena bantuan pemerintah.

Saat itu, air laut sedang surut-surutnya. Dan tanpa pikir panjang, saya langsung melepaskan sepatu dan melipat kaki celana panjang. Karena untuk mendekati perkampungan itu, saya harus melewati lumpur setinggi betis.

Setidaknya, sejak tahun 1960-an, suku laut ini mulai membuat pondokan di kawasan Kawal. Seperti yang dikatan Aman Arafah, sesepuh di pemukiman ini. Awalnya hanya sekitar 4-5 kepala keluarga yang datang. Saat ini mereka berjumlah sekitar belasan kepala keluarga. Mereka berdatangan dari pulau Kubung. “30 menit menggunakan speedboat dari Batam,” kata pria setengah baya ini.

Saat ini, kata Aman, pemerintah sedikit membantu kehidupan suku laut yang bermukim di kawasan Kawal. “Mereka mulai membangun pondokan untuk kami. Mendata untuk KTP dan KK. Sebelumnya jangan harap ada uluran tangan,” katanya. Untuk listrik, secara swadaya mereka membeli generator. “Sampai sekarang PLN belum bisa masuk,” katanya.

Hari memang masih siang, sekitar pukul 11.00. Tak heran jika yang terlihat hanya kaum hawa, karena para lelaki sedang melaut dari sebelum shubuh hingga sore hari sebelum matahari terbenam. Jangan bicara soal mesin canggih. Suku laut ini lebih menyukai getek ketimbang kapal motor untuk melaut. Alatnya pun hanya pancing dan tombak.

Keberadaan suku laut ini memang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu. Hal ini saya dapat rasakan dari dialek Melayu mereka yang sangat kental. Maklum, perjumpaan mereka hanya sebatas rumpun Melayu.

Meski memiliki kedekatan dengan budaya Melayu, suku laut ini tidak semua beragama Islam. Animisme masih mendominasi kebanyakan dari mereka. “Di KTP Islam,” kata Santi, ibu 2 orang anak yang merupakan anggota suku laut dengan dialek Melayu kental.

Namun, suku laut ini memang masih sulit untuk tinggal di darat. Walaupun sudah generasi ke sekian. Hal ini karena pandangan mereka yang menganggap hidup ada di laut, sementara daratan hanyalah tempat untuk mengubur jasad mereka yang sudah mati. Setidaknya, itulah yang dikatakan Santi. Nah, jangan heran jika bertatap muka langsung dengan mereka yang masih tinggal di laut. Mata merah, rambut acak-acakan dan tidak suka bicara dengan orang asing dari daratan.

Dulu, kata Santi, orang tua mereka melakukan segala kegiatan di atas sampan. Sampai urusan kawin mawin. “Dulu, jika mau berhubungan badan, cukup menyilangkan dayung di samping sampang,” katanya. Begitulah tanda do not disturb ala suku laut.

Nah, pada pertengahan tahun 2010, pemerintah setempat baru mulai untuk merangkul suku laut. Hal ini dibuktikan dengan pembuatan KTP dan KK bagi mereka, anggota suku laut. Ada yang menerima ada pula yang tidak. Bagi mereka yang menerima, tentunya anak mereka dapat bersekolah, tapi bagi anggota suku yang menolak, tentu saja tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya.

Beberapa orang yang menolak tentu akan terasing dengan sendirinya. Paling tidak, dengan penolakan itu, mereka kembali hidup di laut luas. “Banyak juga orang yang kembali ke laut karena tidak mau mengikuti anjuran pemerintah,” katanya.

Dalam hal ekonomi, tidak ada perputaran uang dalam komunitas mereka. Suku laut masih mengenal sistem barter antar anggota suku. Hal ini saya ketahui ketika melihat banyaknya perhiasan emas seperti anting, kalung dan gelang yang dikenakan Santi. “Oh, ini hasil barter saja. Kalau ada orang yang perlu sesuatu, biasanya dibarter dengan barang yang setara nilainya,” katanya. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka berdagang ikan di pasar Kawal. Paling tidak, kata Santi, kebutuhan rumah sudah terpenuhi, sisanya untuk dijual. “Tidak lebih, tapi juga kami tidak kekurangan. Cukup saja,” katanya.

Menarik. Di tengah perputaran uang, setidaknya di kawasan resor di Bintan, yang sudah mulai menggunakan dolar singapura, ada komunitas yang masih menggunakan barter sebagai metode jual beli. Sangat jauh dari kesan modern yang ditawarkan oleh pemerintah kepada wisatawan asing.

Suku laut, satu dari banyak komunitas di Indonesia yang mampu memberikan pelajaran berharga tentang keberagaman, sejarah panjang dan prinsip hidup yang patut menarik untuk disimak kembali. Setidaknya untuk menyadarkan kita bahwa ada kelompok yang mampu hidup tanpa embel-embel modern. (AK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar