Cari Blog Ini

Rabu, 25 Mei 2011

Penjajahan, Peran Kaum Muda dan Masa Depan Indonesia Oleh: Aditya Kirana.


Sebagai Negara yang besar baik dalam pengertian wilayah, jumlah penduduk, sejarah nasional maupun kemajemukan kebudayaannya, Indonesia menjadi negeri yang sangat plural. Terlebih dengan beragam macam sejarahnya yang panjang dan kadang tersembunyi sehingga dari generasi ke generasi terkadang menghasilkan cerita sejarah yang berbeda. Dalam hal ini, penulis hanya membatasi penulisan karya ini pada saat dunia, terutama Eropa, menemukan kepulauan rempah yang merangsang munculnya kolonialisme awal, hingga menggeliatnya gerakan progresif kaum muda dalam merebut kemerdekaan.
Sebagai pengantar, saya akan sedikit mengutip Robert Dick-Read dalam bukunya yang bertema Penjelajah Bahari sempat mengatakan bahwa para pelaut Nusantara awal, sekitar abad ke-5 masehi mulai merambah ke benua Afrika. Para pelaut meninggalkan jejak seperti jenis-jenis tanaman baru, teknologi, music, dan seni yang pengaruhnya masih terasa dan dapat ditemukan dalam kebudayaan Afrika. Jadi, dapat dipastikan bahwa Nusantara memiliki keunggulan dalam teknik pelayaran awal dan menjadi faktor determinan pelayaran dan perniagaan di Asia Tenggara.
Hal diatas dapat menjadi patokan awal yang memperkuat pernyataan sejarawan senior Indonesia, Prof A.B. Lapian. Ia mengatakan bahwa Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan nama Nusantara pada masa lalu, adalah Archipelagic State. Pengertian Archipelagic State menurutnya bukanlah Negara Kepulauan, melainkan laut yang yang ditaburi pulau-pulau hingga membentuk suatu wilayah kepulauan terbesar didunia yang dikenal dengan nama Indonesia. Dengan modal tersebut, maka pantaslah pelaut Nusantara memiliki kelihaian dalam berlayar dan melakukan perdagangan antar pulau.
Ketika Eropa menemukan rute pelayaran ke Timur Jauh yang diawali pada tahun 1509 oleh konkuistador Portugis terbesar Alfonso de Alburqurque, maka era globalisasi awal pun terjadi. Lepas dari dimensi perang salib yang sedang melanda wilayah Eropa dan Timur Tengah, perdagangan di Timur Jauh yang meliputi Indonesia, India, Srilangka, hingga Vietnam menjadi teramat massif. Hal ini ditandai dengan naiknya pesanan untuk barang-barang lokal seperti lada, pala, kayu manis, kopi dan rempah-rempah lain yang tak didapat di daratan Eropa.
Indonesia merupakan pemasok terbesar barang-barang kebutuhan tersebut. Maluku kaya akan pala, Sumatera kaya akan lada, sedangkan kopi dan gula dihasilkan oleh Jawa. Perniagaan dalam negeri pun menjadi ramai terlebih setelah Malaka dan Batavia menjadi pelabuhan utama di Asia Tenggara.
Hal ini kemudian menjadikan Indonesia menjadi teramat penting bagi beberapa Negara kolonialis atau negara-negara diatas angin seperti Inggris, Spanyol, Portugis, dan Belanda. Mereka berlomba mencapai negeri rempah dan menguasai beberapa bagiannya. Portugis dan Spanyol menguasai wilayah Maluku dan para misionarisnya sukses menyebarkan Katolik walaupun hanya sebatas wilayah Maluku bagian selatan.
Belanda berhasil menguasai keseluruhan Jawa pada tahun 1705 dan hingga 1941 Belanda mengontrol penuh kehidupan masyarakat Jawa. Dominasi Belanda dalam perdagangan beras, kopi dan gula mencapai titik kulminasinya ketika permintaan atas barang-barang tersebut naik dan harga semakin melambung tinggi. Speelman dan teman pribuminya seperti Aru Palakka dari Gowa dan Kapitan Jongker dari Ambon menambah kejatuhan beberapa kerajaan besar di Indonesia. Kongsi tersebut dinamakan Monsterverbond oleh E.S Ito dalam novelnya yang berjudul Rahasia Meede.
Tembakan di Sarajevo pada oktober tahun 1914 yang mengakibatkan kematian putra mahkota Austria Erzerhog Franz Ferdinand memancing datangnya malapetaka besar yang biasa kita sebut Perang Dunia I. Eropa berada dalam ambang kehancuran paska perang. Kerugian finansial yang besar membuat negara-negara yang terlibat perang berlomba saling menguasai kembali wilayah-wilayah lautan teduh atau yang lebih dikenal dengan nama Samudera Pasifik.
Spanyol menguasai wilayah Filipina, Inggris menguasai Singapura, dan Belanda semakin menguatkan posisinya di Indonesia, sementara Jepang menjadi kekuatan militer dan ekonomi baru di benua Asia karena tidak terlibat dalam perang yang menghabiskan banyak uang, dan justru Jepang menjadi kreditor utama setelah Amerika Serikat untuk negara-negara yang terlibat perang.

Pada era 1889, ketika Politik Etis diberlakukan yang bertumpu pada 3 (tiga) hal yakni Edukasi, Emigrasi, dan Irigasi. Melihat kesempatan yang terbuka lebar, sekelompok kaum muda Indonesia yang belajar di negeri Belanda dengan komando dari Bung Hatta mendirikan Perhimpunan Indonesia (PI) yang merupakan cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI) dan kemudian disambut oleh kalangan terdidik Stovia yakni Raden Sutomo, Gunarwan dan Suraja yang kemudian lebih dikenal dengan istilah tiga serangkai dengan mendirikan Boedi Oetomo (BO) yang dalam setahun telah memiliki sekitar 10.000 anggota di Jawa dan Madura. Organisasi ini adalah langkah awal kebangkitan nasional dan pemantik api kemerdekaan diseluruh jagat Nusantara.
Langkah strategis berikutnya adalah dengan mendeklarasikan Sumpah Pemuda pada oktober 1928. Jong Java, Sumatra Bond, Jong Celebes, Timorsch Verbond dan kelompok muda terdidik yang menginginkan kemerdekaan seutuhnya berkumpul untuk menyatukan pandangan tentang negara yang berdaulat dan berdikari.
Sementara itu, semua negara terlibat dalam peperangan panjang yang berkobar diseluruh dunia. Beberapa blok negara pun bermunculan. Sebutlah blok Axis dan blok Allies. Axis mewakili negara-negara fasis yaitu Jerman, Jepang dan Italia, dan Allies mewakili negara-negara sekutu yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Rusia.
Karena suatu keniscayaan bahwa biaya perang tidaklah sedikit. Maka secara berangsur-angsur kekuatan militer lebih difokuskan untuk menganeksasi wilayah-wilayah pasifik. Jepang yang berada segaris dengan kepentingan Hitler menguasai Indonesia pada 1942 setelah pasukan Jerman berhasil masuk dan menguasai Belanda hingga ratu beserta keluarga dan kaum bangsawan Belanda harus mengungsi ke Austria.
Jepang menguasai wilayah Indonesia dengan slogan Saudara Tua yang akan membebaskan Saudara Muda dari cengkraman kolonialisme Belanda. Namun hal yang bertolak belakang terjadi. Jepang memaksimalisasi daerah jajahan barunya untuk perbekalan perang pasifik. Sedemikian hebatnya Jepang memeras, hingga banyak jatuh korban kelaparan di pihak Indonesia.
Banyak hal terjadi setelahnya. Sekitaran tahun 1945, kekalahan Jepang dalam perang pasifik melawan sekutu serta Jerman yang menyerah tanpa syarat merubah konstelasi politik global saat itu. Pendudukan Jepang berakhir dan sekutu berencana untuk mengambil alih Indonesia. Sementara kevakuman (vacuum of power) terjadi, kaum muda Indonesia yang lihai melihat gejala-gejala dunia berinisiatif untuk mendeklarasikan kemerdekaan Republik. Beberapa kali agresi yang dilancarkan sekutu tetap tidak mampu menembus benteng pertahanan Republik yang hanya ditopang dengan semangat mempertahankan kemerdekaan.
Dari beberapa catatan diatas, dapatlah dipahami bahwa laut memiliki peran yang sangat penting dalam mengubah keadaan ekonomi politik global. Wilayah laut yang selama ini hanya dimaknai sebagai suatu wilayah yang meliputi 2/3 wilayah bumi ternyata memiliki kekuatan lain ketika dipahami dengan cara yang berbeda.
Indonesia, dengan kurang lebih 23.000 pulau yang terhubung dengan laut adalah wilayah yang membutuhkan perhatian lebih dalam bidang kelautan. Gagasan yang timbul ketika mendengarkan ceramah-ceramah dari A.B. Lapian tentang Archipelagic State adalah penguatan secara utuh diwilayah laut Indonesia. Karena diterima atau tidak, Indonesia adalah negara laut yang ditaburi pulau-pulau. Maka, fokus utama pembangunan nasional haruslah menatap laut sebagai kekuatan baru penopang ekonomi bangsa dan wilayahnya harus tetap dipertahankan.
Pada tahun 1933, DR. Sam Ratulangi dalam bukunya, Indonesia di Pasifik mengatakan dengan tegas bahwa siapa yang menguasai Pasifik maka ia akan menguasai dunia. Dan hal itu dibuktikan dengan pelimpahan capital besar ke wilayah pasifik pada era setelah kemerdekaan Indonesia. Teori Sistem Dunia dari Imanuel Wallerstein juga dapat memperkuat argumentasi bahwa Indonesia tidaklah berada dalam posisi terpencil dalam satu sistem dunia. Justru posisi interdependensi Indonesia sebagai negara Peripheri atau negara pinggiran patut didiskusikan lebih lanjut. Ada beberapa asumsi yang saling berkaitan dan penulis mencoba untuk berdiskursus dengan melihat beragam teori dan perjalanan sejarah bangsa diatas.
Pertama, sebagai negara pasifik, sangat mungkin Indonesia menjadi sorotan utama habitat industry global untuk mengeruk keuntungan dalam posisi ini. Barat, atau meminjam istilah Prof Lapian, negara atas angin, memiliki pasar yang terbatas apabila hanya terfokus pada wilayah Eropa. Harga buruh yang semakin mahal, serta keterbatasan bahan mentah atau raw materials membuat mereka mencari wilayah baru untuk mendapatkan ketiganya sekaligus. Negara-negara pasifik, selain sisi geografis yang menguntungkan, disana juga tersedia buruh murah dan sumber daya alam yang melimpah. Oleh karena itulah mengapa mereka berdatangan ke wilayah pasifik sejak tahun 1500-an dan hingga saat ini wilayah pasifik masih menjadi perhatian utama mereka.
Kedua, dengan masuknya capital besar, bukan tidak mungkin ada pra kondisi sebelum memulai proses industrialisasi dan penguasaan wilayah alias penjajahan secara terselubung. Dalam bukunya yang berjudul Benturan Antar Peradaban, Samuel Huntington menyatakan bahwa proses industrialisasi yang menopang globalisasi tentu memiliki sebuah strategi awal sebelum menerapkan pola-pola ekonomi kapitalistik. Budaya populer yang disebarluaskan lewat media adalah pra kondisi untuk membiasakan masyarakat luas menerima era industrialisasi yang berujung pada penyatuan dunia dalam satu payung besar.
Ketiga, penegasan dan proteksi terhadap wilayah laut Indonesia yang tidak maksimal membuat lubang dalam pertahanan nasional terhadap kekuatan asing yang merangsek ke dalam wilayah kedaulatan NKRI. Paska Deklarasi Djuanda yang menghasilkan kesepakatan tentang garis-garis wilayah kedaulatan laut Indonesia, tidak ada langkah yang lebih serius dalam membicarakan dan mengamankan wilayah kedaulatan tersebut dan acap kali mampu diklaim oleh negara tetangga sebagai bagian dari negara mereka. Lemahnya diplomasi dan pertahanan laut memudahkan kedaulatan Indonesia bergeser ke titik terlemahnya. Sedangkan Indonesia merupakan Archipelagic State yang membutuhkan konsentrasi lebih besar pada wilayah lautnya.
Menurut hemat penulis, masa depan Indonesia bergantung atas beberapa hal yang telah tercantum diatas. Letak geografis yang berada tepat di bibir pasifik, wilayah kepulauan yang besar, dan kemajemukan kultural seharusnya membuat pemerintah Indonesia lebih jeli memandang beberapa masalah prioritas yang harus dipecahkan.
Dari beberapa asumsi yang berangkat dari kompleksitas sejarah Indonesia diatas setidaknya bisa menjadi alat diskursif. Karena, sejarah mampu menjawab kebuntuan dalam memecahkan masalah kebangsaan ketika dimaknai sebagai variabel yang membentuk masa kini dan masa depan.

Daftar Pustaka

Ito, E.S. Rahasia Meede
Hirst, Paul. Perang dan Kekuatan di Abad 21. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004
Huntington, Samuel. Benturan Antar Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta:       Qalam, 2006
Ratulangi, Sam, Indonesia di Pasifik: Analisa Masalah-masalah Pokok Asia Pasifik. Jakarta; Sinar Harapan 1982
Lapian, Adrian. B, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16-17. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008
Read, Robert Dick. Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika. Bandung: Mizan. 2008
Vlekke, Bernard H.M, Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer     Gramedia),     2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar