Berharap Vonis Lebih
Jaksa KPK menyatakan banding atas vonis Anas
Urbaningrum karena hukuman penjaranya masih di bawah 2/3 dari tuntutan
dan tak ada pencabutan hak politik.Bagaimana sikap Anas?
Bukan Anas Urbaningrum namanya kalau tidak
melontarkan celetukan sensasional terkait keterlibatan dirinya dalam
kasus korupsi Hambalang. Dua tahun silam, saat belum menjadi tersangka,
bekas Ketua Umum Partai Demokrat itu pernah sesumbar bahwa satu rupiah
saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas. Rabu pekan lalu,
ketika majelis hakim menyatakan dirinya terbukti korupsi, Anas masih
saja berkelit.
Usai mendengar pembacaan vonis, Anas
menantang majelis hakim dan jaksa penuntut umum (JPU) melakukan
mubahalah atau sumpah kutukan. "Mohon jika diperkenankan di dalam ujung
persidangan yang terhormat ini, saya sebagai terdakwa, tim JPU, dan juga
majelis hakim yang mulia melakukan mubahalah," ujar Anas di ruang
sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Ajakan Anas
ini tidak digubris majelis hakim. Ketua Majelis Hakim Haswandi mengetuk
palu tiga kali petanda sidang ditutup.
Aksi Anas itu disindir Wakil Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto. Menurut Bambang, Anas
gemar melontarkan ucapan-ucapan yang belakangan terbukti berbeda dengan
kenyataan. Misalnya, jika mengilas balik ucapan Anas mengenai gantung
di Monas, hingga hari ini pun tidak bisa diucapkannya lagi. "Juga dengan
makanan di KPK yang katanya beracun. Dia makan lahap kok," ujar
Bambang.
Tantangan mubahalah dilontarkan Anas setelah
majelis hakim menghukumnya pidana delapan tahun penjara, plus denda Rp
300 juta. Tidak itu saja, politikus kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini
juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 57,59
miliar dan US$ 5,26 juta.
Uang denda dan uang pengganti harus dibayar
Anas paling lambat satu bulan setelah ada putusan hukum tetap. Jika
menolak membayar, maka seluruh aset dan kekayaan Anas disita untuk
dilelang negara. Pun, jika uang yang terkumpul dari hasil lelang masih
kurang, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini harus menjalani
hukuman tambahan dua tahun.
Dalam putusannya, majelis menyatakan mantan
Ketua Fraksi demokrat di DPR itu terbukti bersalah melakukan tindak
pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu subsidair,
Pasal 11 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Anas juga
terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berulang kali
sebagaimana dakwaan kedua, Pasal 3 UU TPPU jo Pasal 65 ayat (1) ke-1
KUHP.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim
menganggap Anas terbukti menerima hadiah atau janji yang patut diduga
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya. Menurut majelis hakim, kedudukan Anas sebagai anggota DPR,
ketua fraksi dan belakangan menjadi ketua umum Partai Demokrat itu
memiliki pengaruh besar untuk mengatur proyek-proyek pemerintah yang
dibiayai dari Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN).
Majelis hakim juga membeberkan modus korupsi
yang dilakukan Anas. Menurut majelis hakim, dalam rangka penggalangan
dana untuk biaya pemenangan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat,
Anas bekerjasama dengan Nazaruddin memanfaatkan PT Anugerah Nusantara
untuk mengumpulkan fee dari ijon proyek-proyek pemerintah yang bersumber
dari APBN. Terungkap pula, Anas adalah komisaris PT Anugerah setelah
membeli 30 % saham PT Anugerah dari Nazaruddin.
Selain itu, Anas terbukti menerima
gratifikasi sebesar Rp 2,21 miliar dari PT Adhi Karya terkait proyek
Hambalang. Uang tersebut digunakan Anas untuk biaya pencalonannya
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada kongres yang digelar di Bandung,
2010 lalu. "Meskipun terdakwa bantah karena ada beda tanggal kasbon
dengan pelaksanaan kongres, tapi saksi Teuku Bagus (pegawai PT Adhi
Karya) mengatakan bahwa kasbon adalah bon sementara," Sutio Jumagi,
anggota majelis hakim, menjelaskan.
Majelis hakim juga mengganggap mobil Toyota
Harrier milik Anas berasal dari gratifikasi. Dari fakta persidangan
terungkap, mobil mewah seharga Rp 670 juta itu, bukan dibeli Anas dengan
cara menyicil tapi dibeli dengan menggunakan uang PT Anugerah. "Keterangan Neneng (istri Nazaruddin) mengatakan dibayarkan dengan uang
Rp 150 juta dan cek Rp 520 juta dikuatkan dengan catatan kas Anugerah
Grup," papar Sutio.
Anas juga terbukti melakukan tindak pidana
pencucian uang dengan cara menggunakan uang hasil korupsinya untuk
membeli sejumlah tanah dan bangunan. Agar tidak terendus aparat penegak
hukum, Anas menggunakan nama mertuanya, Attabik Ali. Diantaranya, tanah
dan bangunan di Duren Sawit, Jakarta Timur seharga Rp 690 juta. Juga
beberapa bidang tanah di Yogyakarta dengan total harga Rp 15,7 miliar.
Kendati hampir sebagian besar dakwaan dan
bukti-bukti yang disodorkan jaksa KPK diamini majelis hakim, namun vonis
ini jauh lebih rendah dari tuntutan. Sebelumnya, di sidang tuntutan
pada 11 September lalu, jaksa KPK meminta hakim menghukum Anas 15 tahun
penjara dan denda Rp 500 juta. Anas juga dituntut membayar uang
pengganti kerugian negara sebesar Rp 94,180 miliar dam US$ 5,216 juta.
Jaksa KPK juga meminta Anas diberi hukuman tambahan berupa pencabutan
hak politiknya.
Jika membandingkan isi tuntutan dengan vonis,
selain hukuman penjara yang belum mencapai 2/3 dari tuntutan, upaya KPK
memiskinkan Anas juga masih jauh dari harapan. Yang juga diluar dugaan
KPK, - mungkin juga di luar dugaan Anas, majelis hakim menolak
pencabutan hak politik Anas. Vonis ini juga tidak bulat. Dua dari lima
hakim, yakni Slamet Subagyo dan Djoko Subagyo mengajukan beda pendapat
atau dissenting opinion sepanjang terkait jerat TPPU. Keduanya menilai
jaksa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan TPPU dalam perkara Anas.
Atas vonis ini, KPK akan mengajukan banding. "Putusan itu masih jauh dari tuntutan jaksa. KPK akan banding," ujar
Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto. Diakui Bambang, KPK ngotot banding
lantaran beberapa dakwaan ditolak, termasuk ditolaknya pencabutan hak
politik Anas. Juga dengan putusan yang masih dibawah 2/3 dari tuntutan
jaksa. Soal jerat TPPU, KPK berharap Anas dihukum TPPU seperti kasus
Djoko Susilo (korupsi simulator di Polri) dengan menarik kasusnya ke
belakang. "Itu yang perlu dilakukan untuk memiskinkan Anas," katanya.
Vonis Anas mendapat respon dari Indonesia
Corruption Watch (ICW). Menurut peneliti ICW, Tama S Langkun semestinya
majelis hakim menjatuhkan hukuman lebih berat kepada Anas. "Paling tidak
dihukum 10 tahun," katanya kepada Putri Kartika Utami dari GATRA.
Untuk itu, Tama melanjutkan, ICW mendukung langkah KPK mengajukan
banding agar Anas diganjar hukum berat. "Dipersidangan terbukti
melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang," terangnya.
Berbeda dengan KPK dan ICW, kubu Anas justru
sependapat dengan beberapa pertimbangan majelis hakim, khususnya dua
hakim yang mengajukan dissenting opinion. "Ini kan TPPU adalah
kewenangan Jaksa Agung bukan kewenangan KPK. KPK mengambil kewenangan
Jaksa Agung dan ini adalah perbuatan melawan hukum," ujar kuasa hukum
Anas, Firman Wijaya kepada Fahmy Fotaleno dari GATRA. Menurut Firman,
karena KPK telah melampaui kewenangan, semestinya secara bijak majelis
hakim menyatakan perkara ditutup. "Kalau tidak ada (kewenangan), maka
peradilan itu harus menyatakan dirinya tidak berhak mengadili," tukas
Firman.
Firman juga sependapat dengan penolakan
majelis atas tuntutan pencabutan hak politik Anas. "Soal hak politik
yang tidak jadi dicabut, itu rasional dan clear," ujarnya. Sebagai
seorang politikus, menurut Firman, Anas adalah politukus tangguh. Ketua
Perhimpunan Pergerakan Indonesia ini akan melawan jika hukum digunakan
sebagai alat untuk 'membunuh' karir politiknya. "Anas menghargai vonis
tersebut, tapi pencarian keadilan tidak boleh berhenti karena keadilan
itu tidak hanya di ruang pengadilan, tapi juga di ruang publik,"
tuturnya.
Sementara itu, loyalis Anas, Ma'mun Murod
Al-Barbasy menilai ada upaya membunuh karir politik Anas secara
perlahan-lahan. Meski pencbutan hak politik ditolak, namun Anas diganjar
hukuman delapan tahun penjara. Jika tidak bisa membayar uang pengganti,
Anas terancam menjalani hukuman 10 tahun penjara. "10 tahun itu kan dua
kali pemilu. Dua kali pemilu itu usia Anas sudah 55 tahun. Jadi ini
sebenarnya pembunuhan hak politik secara tidak langsung," terang Ma'mun.
Sujud Dwi Pratisto dan Aditya Kirana
= = =
Boks :
Menakar Kekayaan Anas
Majelis hakim tindak pidana korupsi
menyatakan Anas Urbaningrum terbukti bersalah dalam kasus korupsi
Hambalang dan tindak pidana pencucian uang. Selain dihukum kurungan
badan, Anas juga diganjar hukuman denda Rp 300 juta serta membayar uang
pengganti kerugian negara Rp 57,59 miliar dan US$ 5,26 juta. Yang jadi
pertanyaan, apakah Anas sanggup membayar uang denda dan uang pengganti
yang jika ditotal lebih dari Rp 100 miliar? Pertanyaan berikutnya,
berapa aset dan kekayaan Anas?
Laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN)
bisa dijadikan rujukan untuk mencari tahu berapa kira-kira nilai aset
dan kekayaan seorang pejabat negara, seperti Anas. Anas mulai menyandang
status pejabat negara setelah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum
(KPU) periode 2001 - 2005. Anas pertama kali menyetorkan LHKP nya ke
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 10 Mei 2005. Di LHKPN, Anas
mencantumkan total aset dan kekayaannya sebesar Rp 1,17 miliar dan US$
2.300.
Lepas dari KPU, Anas memulai karir politiknya
dengan bergabung di Partai Demokrat. Di partai berlambang bintang mercy
itu, Anas didapuk sebagai Ketua Bidang Politik dan Otonomi Daerah.
Dalam rangka pencalonan dirinya sebagai anggota DPR, pada 28 Desember
2007, Anas kembali melaporkan LHKP ke KPK. Di LKHP itu, Anas
mencantumkan total aset dan kekayaannya sebesar Rp 2,23 miliar dan US$
2.300, atau menggelembung hingga dua kali lipat dibanding LHKPN
pertamanya.
Pada 2009, Anas terpilih menjadi anggota
DPR. Di Senayan, Anas menduduki kursi Ketua Fraksi Demokrat. Satu tahun
kemudian (2010), Anas mundur dari DPR karena terpilih sebagai Ketua
Umum Partai Demokrat, dalam kongres yang digelar di Bandung. KPK
menyebut Anas sudah menyetorkan LHKPN pada Februari 2010, tapi KPK belum
melakukan verifikasi. Inilah yang menyebabkan publik tidak bisa
mengakses data LHKPN Anas itu.
Begitu KPK menetapkan Anas sebagai tersangka
korupsi Hambalang dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Maret lalu,
media mulai ramai menelusuri aset dan kekayaan Anas. Dari penelusuran
media, diduga sejak terpilih menjadi orang nomor satu di Demokrat,
pundi-pundi uang Anas terus beranak pinak. Diduga pula uang itu berasal
dari Group Permai dan PT Anugerah Nusantara, dua perusahaan yang
dikelola Anas bersama mantan Bendahara Umum Demokrat, Nazaruddin. Total
aset dan kekayaanya Anas diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.
Ketika dikonfrimasi GATRA, kuasa hukum Anas,
Firman Wijaya tak mengiyakan tapi juga tak menyangkal soal dugaan Anas
memiliki aset dan kekayaan ratusan miliar. Menurut Firman, soal berapa
banyak aset Anas, KPK yang jauh lebih tahu. Sejak awal KPK menuding Anas
sebagai pemilik Group Permai dan PT Anugerah. Tapi, ungkap Firman,
ketika pihak Anas meminta KPK menyita dua perusahaan itu, KPK enggan
melakukannya. "Apa masalahnya tidak disita. Kan aset perusahaan itu
dituduhkan punya Mas Anas dan kami minta agar disita. Itu trilyunan
asetnya," ujar Firman kepada Fahmy Fotaleno danri GATRA.
Sementara itu, loyalis Anas, Ma'mun Murod
Al-Barbasy mengatakan hukuman membayar uang pengganti yang dibebankan
kepada Anas, tidak masuk akal. Apalagi nilainya yang fantastis. "Uangnya
itu dari mana? Mulai dari rumah hingga celana kolor Anas kalau dijual
pun tidak akan cukup untuk mengganti uang tersebut,?" kata Ma'mun.
Sujud Dwi Pratisto dan Aditya Kirana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar