Cari Blog Ini

Senin, 15 Desember 2014

Berharap Vonis Lebih



Berharap Vonis Lebih



Jaksa KPK menyatakan banding atas vonis Anas Urbaningrum karena hukuman penjaranya masih di bawah 2/3 dari tuntutan dan tak ada pencabutan hak politik.Bagaimana sikap Anas?


Bukan Anas Urbaningrum namanya kalau tidak melontarkan celetukan sensasional terkait keterlibatan dirinya dalam kasus korupsi Hambalang. Dua tahun silam, saat belum menjadi tersangka, bekas Ketua Umum Partai Demokrat itu pernah sesumbar bahwa satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas. Rabu pekan lalu, ketika majelis hakim menyatakan  dirinya terbukti korupsi, Anas masih saja berkelit.

Usai mendengar pembacaan vonis, Anas menantang majelis hakim dan jaksa penuntut umum (JPU) melakukan mubahalah atau sumpah kutukan. "Mohon jika diperkenankan di dalam ujung persidangan yang terhormat ini, saya sebagai terdakwa, tim JPU, dan juga majelis hakim yang mulia melakukan mubahalah," ujar Anas di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.  Ajakan Anas ini tidak digubris majelis hakim. Ketua Majelis Hakim Haswandi mengetuk palu tiga kali petanda sidang ditutup.

Aksi Anas itu disindir Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang  Widjojanto. Menurut Bambang, Anas gemar melontarkan ucapan-ucapan yang belakangan terbukti berbeda dengan kenyataan.  Misalnya, jika mengilas balik ucapan Anas mengenai gantung di Monas, hingga hari ini pun tidak bisa diucapkannya lagi. "Juga dengan makanan di KPK yang katanya beracun. Dia makan lahap kok," ujar Bambang.

Tantangan mubahalah dilontarkan Anas setelah majelis hakim menghukumnya pidana delapan tahun penjara, plus denda Rp 300 juta. Tidak itu saja,  politikus kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 57,59 miliar dan US$ 5,26 juta.

Uang denda dan uang pengganti harus dibayar Anas paling lambat satu bulan setelah ada putusan hukum tetap. Jika menolak membayar, maka seluruh aset dan kekayaan Anas disita untuk dilelang negara.  Pun, jika uang yang terkumpul dari hasil lelang masih kurang, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini harus menjalani hukuman tambahan dua tahun.

Dalam putusannya, majelis menyatakan mantan Ketua Fraksi demokrat di DPR itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu subsidair, Pasal 11 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Anas juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berulang kali sebagaimana dakwaan kedua, Pasal 3 UU TPPU jo Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap Anas terbukti menerima hadiah atau janji yang patut diduga diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Menurut majelis hakim, kedudukan Anas sebagai anggota DPR, ketua fraksi dan belakangan menjadi ketua umum Partai Demokrat itu memiliki pengaruh besar untuk mengatur proyek-proyek pemerintah yang dibiayai  dari Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN).

Majelis hakim juga membeberkan modus korupsi yang dilakukan Anas. Menurut majelis hakim, dalam rangka penggalangan dana untuk biaya pemenangan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Anas bekerjasama dengan Nazaruddin memanfaatkan PT Anugerah Nusantara untuk mengumpulkan fee dari ijon proyek-proyek pemerintah yang bersumber dari APBN. Terungkap pula, Anas adalah komisaris PT Anugerah setelah membeli 30 % saham PT Anugerah dari Nazaruddin.

Selain itu, Anas terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 2,21 miliar dari PT Adhi Karya terkait proyek Hambalang. Uang tersebut digunakan Anas untuk biaya pencalonannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada kongres yang digelar di Bandung, 2010 lalu. "Meskipun terdakwa bantah karena ada beda tanggal kasbon dengan pelaksanaan kongres, tapi saksi Teuku Bagus (pegawai PT Adhi Karya) mengatakan bahwa kasbon adalah bon sementara," Sutio Jumagi, anggota majelis hakim, menjelaskan.

Majelis hakim juga mengganggap mobil Toyota Harrier milik Anas berasal dari gratifikasi. Dari fakta persidangan terungkap, mobil mewah seharga Rp 670 juta itu, bukan dibeli Anas dengan cara menyicil tapi dibeli dengan menggunakan uang PT Anugerah. "Keterangan Neneng (istri Nazaruddin) mengatakan dibayarkan dengan uang Rp 150 juta dan cek Rp 520 juta dikuatkan dengan catatan kas Anugerah Grup," papar Sutio.

Anas juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan cara menggunakan uang hasil korupsinya untuk membeli sejumlah tanah dan bangunan. Agar tidak terendus aparat penegak hukum,  Anas menggunakan nama mertuanya, Attabik Ali. Diantaranya, tanah dan bangunan di Duren Sawit, Jakarta Timur seharga Rp 690 juta. Juga beberapa bidang tanah di Yogyakarta dengan total harga Rp 15,7 miliar.

Kendati hampir sebagian besar dakwaan dan bukti-bukti yang disodorkan jaksa KPK diamini majelis hakim, namun vonis ini jauh lebih rendah dari tuntutan. Sebelumnya, di sidang tuntutan pada 11 September lalu, jaksa KPK meminta hakim menghukum Anas 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Anas juga dituntut membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 94,180 miliar dam US$ 5,216 juta. Jaksa KPK juga meminta Anas diberi hukuman tambahan berupa  pencabutan hak politiknya.

Jika membandingkan isi tuntutan dengan vonis, selain hukuman penjara yang belum mencapai 2/3 dari tuntutan, upaya KPK memiskinkan Anas juga masih jauh dari harapan. Yang juga diluar dugaan KPK, - mungkin juga di luar dugaan Anas, majelis hakim menolak pencabutan hak politik Anas. Vonis ini juga tidak bulat. Dua dari lima hakim, yakni Slamet Subagyo dan Djoko Subagyo mengajukan beda pendapat atau dissenting opinion sepanjang terkait jerat TPPU. Keduanya menilai jaksa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan TPPU dalam perkara Anas.

Atas vonis ini, KPK akan mengajukan banding. "Putusan itu masih jauh dari tuntutan jaksa. KPK akan banding," ujar Wakil Ketua KPK,  Bambang Widjojanto. Diakui Bambang, KPK ngotot banding lantaran beberapa dakwaan ditolak, termasuk ditolaknya pencabutan hak politik Anas. Juga dengan putusan yang masih dibawah 2/3 dari tuntutan jaksa. Soal jerat TPPU, KPK berharap Anas dihukum TPPU seperti kasus Djoko Susilo (korupsi simulator di Polri) dengan menarik kasusnya ke belakang. "Itu yang perlu dilakukan untuk memiskinkan Anas," katanya.

Vonis Anas mendapat respon dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut peneliti ICW, Tama S Langkun semestinya majelis hakim menjatuhkan hukuman lebih berat kepada Anas. "Paling tidak dihukum 10 tahun," katanya kepada Putri Kartika Utami dari GATRA.  Untuk itu, Tama melanjutkan, ICW mendukung langkah KPK mengajukan banding agar Anas diganjar hukum berat. "Dipersidangan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang," terangnya.

Berbeda dengan KPK dan ICW, kubu Anas justru sependapat dengan beberapa pertimbangan majelis hakim, khususnya dua hakim yang mengajukan dissenting opinion. "Ini kan TPPU adalah kewenangan Jaksa Agung bukan kewenangan KPK. KPK mengambil kewenangan Jaksa Agung dan ini adalah perbuatan melawan hukum," ujar kuasa hukum Anas, Firman Wijaya kepada Fahmy Fotaleno dari GATRA.  Menurut Firman, karena KPK telah melampaui kewenangan, semestinya secara bijak majelis hakim menyatakan perkara ditutup. "Kalau tidak ada (kewenangan), maka peradilan itu harus menyatakan dirinya tidak berhak mengadili," tukas Firman.

Firman juga sependapat dengan penolakan majelis atas tuntutan pencabutan hak politik Anas. "Soal hak politik yang tidak jadi dicabut, itu rasional dan clear," ujarnya. Sebagai seorang politikus, menurut Firman, Anas adalah politukus tangguh. Ketua Perhimpunan Pergerakan Indonesia ini akan melawan jika hukum digunakan sebagai alat untuk 'membunuh' karir politiknya.  "Anas menghargai vonis tersebut, tapi pencarian keadilan tidak boleh berhenti karena keadilan itu tidak hanya di ruang pengadilan, tapi juga di ruang publik," tuturnya.

Sementara itu, loyalis Anas, Ma'mun Murod Al-Barbasy menilai ada upaya membunuh karir politik Anas secara perlahan-lahan. Meski pencbutan hak politik ditolak, namun Anas diganjar hukuman delapan tahun penjara. Jika tidak bisa membayar uang pengganti, Anas terancam menjalani hukuman 10 tahun penjara. "10 tahun itu kan dua kali pemilu. Dua kali pemilu itu usia Anas sudah 55 tahun. Jadi ini sebenarnya pembunuhan hak politik secara tidak langsung," terang Ma'mun.

Sujud Dwi Pratisto dan Aditya Kirana

= = =
Boks :

Menakar Kekayaan Anas


Majelis hakim tindak pidana korupsi menyatakan Anas Urbaningrum terbukti bersalah dalam kasus korupsi Hambalang dan tindak pidana pencucian uang. Selain dihukum kurungan badan, Anas juga diganjar hukuman denda Rp 300 juta serta membayar uang pengganti kerugian negara Rp 57,59 miliar dan US$ 5,26 juta. Yang jadi pertanyaan, apakah Anas sanggup membayar uang denda dan uang pengganti yang jika ditotal lebih dari Rp 100 miliar? Pertanyaan berikutnya, berapa aset dan kekayaan Anas?

Laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) bisa dijadikan rujukan untuk mencari tahu berapa kira-kira nilai aset dan kekayaan seorang pejabat negara, seperti Anas. Anas mulai menyandang status pejabat negara setelah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2001 - 2005.  Anas pertama kali menyetorkan LHKP nya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 10 Mei 2005. Di LHKPN, Anas mencantumkan total aset dan kekayaannya sebesar Rp 1,17 miliar dan US$ 2.300. 

Lepas dari KPU, Anas memulai karir politiknya dengan bergabung di Partai Demokrat. Di partai berlambang bintang mercy itu, Anas didapuk sebagai Ketua Bidang Politik dan Otonomi Daerah. Dalam rangka pencalonan dirinya sebagai anggota DPR, pada 28 Desember 2007, Anas kembali melaporkan LHKP ke KPK. Di LKHP itu, Anas mencantumkan total aset dan kekayaannya  sebesar Rp 2,23 miliar dan US$ 2.300, atau menggelembung hingga dua kali lipat dibanding LHKPN pertamanya.

Pada 2009, Anas terpilih menjadi anggota DPR.  Di Senayan, Anas menduduki kursi Ketua Fraksi Demokrat. Satu tahun kemudian (2010), Anas mundur dari DPR karena terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, dalam kongres yang digelar di Bandung. KPK menyebut Anas sudah menyetorkan LHKPN pada Februari 2010, tapi KPK belum melakukan verifikasi. Inilah yang menyebabkan publik tidak bisa mengakses data LHKPN Anas itu.

Begitu KPK menetapkan Anas sebagai tersangka korupsi Hambalang dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Maret lalu, media mulai ramai menelusuri aset dan kekayaan Anas. Dari penelusuran media, diduga sejak terpilih menjadi orang nomor satu di Demokrat, pundi-pundi uang Anas terus beranak pinak. Diduga pula uang itu berasal dari Group Permai dan PT Anugerah Nusantara, dua perusahaan yang dikelola Anas bersama mantan Bendahara Umum Demokrat, Nazaruddin.  Total aset dan kekayaanya Anas diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.

Ketika dikonfrimasi GATRA, kuasa hukum Anas, Firman Wijaya tak mengiyakan tapi juga tak menyangkal soal dugaan Anas memiliki aset dan kekayaan ratusan miliar. Menurut Firman, soal berapa banyak aset Anas, KPK yang jauh lebih tahu. Sejak awal KPK menuding Anas sebagai pemilik Group Permai dan PT Anugerah. Tapi, ungkap Firman, ketika pihak Anas meminta KPK menyita dua perusahaan itu, KPK enggan melakukannya. "Apa masalahnya tidak disita. Kan aset perusahaan itu dituduhkan punya Mas Anas dan kami minta agar disita. Itu trilyunan asetnya," ujar Firman kepada Fahmy Fotaleno danri GATRA.

Sementara itu, loyalis Anas, Ma'mun Murod Al-Barbasy mengatakan hukuman membayar uang pengganti yang dibebankan kepada Anas, tidak masuk akal. Apalagi nilainya yang fantastis. "Uangnya itu dari mana? Mulai dari rumah hingga celana kolor Anas kalau dijual pun tidak akan cukup untuk mengganti uang tersebut,?" kata Ma'mun.

Sujud Dwi Pratisto dan Aditya Kirana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar