Cari Blog Ini

Rabu, 25 Mei 2011

Membaca Kembali Skema Lama, Menata Kembali Nusantara. (Sebuah Refleksi Ringan) Oleh: Aditya Kirana.


 
Beberapa tahun sudah pasca krisis ekonomi melanda seantero dunia. Bukan hanya menebar ketakutan akan kemisikinan, namun juga menebar rasa haus akan daerah koloni baru dalam jaman modern. Kegelisahan tentang rapuhnya kekuatan ekonomi negara adidaya tak pelak lagi menjadi stimulan bagi mereka yang tak juga merasa puas dengan hasil yang didapatkan. Ada banyak hal yang membuat  negara dunia ketiga harus lebih waspada, meningkatkan kemampuan untuk berpikir bahwa mereka hidup dalam system global yang menggerus siapa yang lemah, dalam artian lemah analisis system dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, perang antar rumpun kerap terjadi. Thailand dengan Kamboja, India dengan Pakistan, dan hampir saja terjadi perang Indonesia dengan Malaysia. Belum hitungan penetrasi kekuatan militer AS di Irak, Mesir dan Libya. Segelintir negara di Dewan Keamanan PBB menyayangkan penyerangan atau invasi militer AS. Mereka menganggap bahwa Barrack Obama tidak konsisten dengan misi yang dibawanya sebelum menduduki posisi top leader AS. China dan Rusia menjadi pendebat keras AS dalam hal invasi bersenjata mereka ke Mesir dan Libya. Walaupun tersirat sangat banyak kepentingan didalamnya, tak mustahil bahwa rasa haus akan daerah koloni bagi negara gemuk seperti AS harus tersalurkan.
Hal ini harus menjadi pertanda bagi Indonesia. Pertanda bahwa segala tindakan yang diambil haruslah setaktis mungkin. Indonesia haruslah menjadi Negara yang gemuk bukan hanya dalam tinjauan luas geografis dan kuantitas masyarakatnya namun juga gemuk dalam pengaruh diplomatik walaupun hanya dalam regional Asia Tenggara. Dipenghujung abad 20, Indonesia tidak memiliki satupun gagasan yang dapat menjadi patokan dasar ASEAN. Alasan mengapa Indonesia harus memiliki pengaruh yang kuat di Negara-negara ASEAN adalah karena persinggungan yang memicu konflik pada daerah serumpun dapat dikatakan kecil. Selain karena memiliki persamaan kultural, mereka juga memiliki kesamaan cara pandang ekonomi politik walaupun tidak semua negara serumpun memiliki kesepakatan tentang konsepsi ekonomi politik mereka karena kepentingan Negara inti (baca: core).
Perangkat-perangkat negara harus lebih efektif dalam menangkap sinyal-sinyal dari negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi politik. Menjadi pengalaman pahit kita ketika GusDur mengitari Asia hanya untuk meyakinkan negara-negara kuat Asia akan pentingnya kesatuan perangkat moneter di Asia seperti pembentukan mata uang region Asia sebagai pembanding dari Euro yang bahkan pada saat itu masih dalam tahap pembahasan, namun sayangnya beberapa pihak di dalam negeri tidak memiliki pandangan geostrategi yang cukup baik, untuk tidak mengatakan buruk.
Saat ini seluruh energi negara hanya dihabiskan dalam pertarungan politik dalam negeri. Kita jarang bahkan nyaris tidak pernah menganggap bahwa kita merupakan warga dari habitat global. Maka karena itulah kita jarang menangkap sisi-sisi pertarungan politik dunia. Bahkan kita hanya menganggap peta pertarungan politik global hanyalah teori konspirasi yang tidak ada hubungannya dengan keadaan dalam negeri.
Bila dipandang dari sisi regional, Indonesia harus mampu mengembangkan sayap lebih lebar karena mau tidak mau, suka tidak suka kita diperhadapkan dalam skema pertarungan global yang mengerucut pada tiga kutub utama kekuatan dunia. Rusia, China dan AS. Lihatlah bagaimana AS membombardir Libya, Mesir, dan Irak. Ikut serta dalam konflik India-Pakistan, mulai melucuti persenjataan Iran dan lain-lain. Hal ini harus dipandang dalam frame geostrategi. Secara geografis, mulai dari Libya, Mesir, Irak, Iran, dan Pakistan berada dalam satu garis lurus menuju China. Aliran minyak mentah di belahan Afrika mengalir deras menuju Timur Tengah dan bermuara ke China. Tak heran apabila kemudian Rusia dan China menjadi pendebat paling keras tentang operasi militer AS ke Libya dan negara-negara Afrika Utara lain.
Di sisi lain, China sangat gencar menghembuskan isu China-Asean Free Trade Area (CAFTA), selain penguatan struktur ekonomi di Asean, China juga harus lebih preventif menghadapi tekanan AS kepada negara-negara sekutunya dengan cara mengambil jalan lain menuju Asia Pasifik.
Menghadapi skema demikian, pemerintah Indonesia, dari pusat hingga lokal, tak pelak lagi wajib untuk ‘sedikit berpikir’ tentang segala kemungkinan. Menganalisis sedetail mungkin mozaik-mozaik tersebut diatas demi kepentingan nasional kita. Kebangkitan nasional bukanlah momentum untuk mengadakan upacara bersama. Tapi merupakan refleksi atas keberuntungan Indonesia secara geografis yang kemudian turut menghadirkan keberuntungan politik, ekonomi, sosiokultural dan pertahanan.
Akademisinya harus lebih mengedepankan tatanan keilmuan yang lepas dari tendensi dalam beragam sisi atau lintas disipliner. Jangan lagi terjebak dalam arus politisasi massal kaum akademisi yang berlangsung setiap hari dalam bangsa ini. Kita perlu konsepsi yang mendalam atas segala kekisruhan global. Kaum akademisi yang patut untuk menjawabnya.
Agamawannya haruslah menjadi penjaga moral bangsa. Tak perlu lagi bertikai karena perbedaan ideology dan pandangan keagamaan. Cukuplah kita, sejak kemerdekaan hingga saat ini, dipermainkan dengan tema-tema impor. Marilah kita menghayati multikulturalisme sebagai kenyataan hidup berbangsa.
Mahasiswanya harus lebih banyak belajar memagari diri dari keserakahannya sendiri. Membuka cakrawala pemikiran seluas-luasnya tanpa perlu ragu-ragu. Membaca setiap perubahan, mengecap segala perbedaan bangsa agar dapat mengenali jati dirinya sendiri, menelurkan karya-karya nyata demi satu tujuan. Kaum indonesianis sudah menelanjangi sejarah kita, kebudayaan kita, system politik ekonomi kita. Tapi mampukah kita melakukan pembacaan balik terhadap mereka?
Segaris tulisan ini hanyalah refleksi. Dibalik segala kesulitan pasti terselip kemudahan. Sesakit-sakitnya kita menerima pukulan, janganlah harapan tentang masa depan yang terang benderang itu sirna. Sejarah pasti menyimpan patahan-patahan dan pengulangan-pengulangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar