Cari Blog Ini

Selasa, 02 Juni 2015

Jumat, 29 Mei 2015

Suku Laut dalam himpitan industri pariwisata

Suku (Orang) Laut. Komunitas terpinggir di tengah hiruk pikuk industri pariwisata Bintan.

Cukup jauh dari Bandara Raja Haji Fisabilillah Tanjung Pinang. Tepatnya di Desa Air Kelubi, kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Bintan terdapat sekelompok orang sampan. Penduduk sekitar mengenalnya hanya dengan sebutan Suku (Orang) Laut.

Akhir bulan Mei lalu, saya yang mendapatkan undangan Wonderfull Kepri akhirnya tiba di pulau Bintan, Kepulauan Riau setelah melalui prosesi perkenalan pariwisata, yang juga promosi hotel dan resor di kawasan Bintan, akhirnya menemukan satu komunitas yang dapat dikatakan jauh dari hingar bingar industri pariwisata Kepulauan Riau.

Jaraknya kurang lebih 29 km dari bandara. Dari pembicaraan dengan masyarakat setempat, Suku Laut dulunya berperan dalam menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut.

Untuk memasuki perkampungan suku laut ini, saya harus meminta ijin terlebih dulu kepada toko material. Karena memang jalan masuk menuju perkampungan suku laut tepat berada di beranda belakang toko itu.

Ijin didapat, saya pun mulai menyusuri jembatan beton yang lebarnya tidak lebih dari satu meter untuk menuju ke perkampungan. Hutan mangrove menyambut di kanan dan kiri. Tidak lebih dari 5 menit berjalan kaki menyusuri jembatan, tibalah saya di perkampungan atas air. Tidak lebih dari 20 bangunan atas air yang ada di sana. Setiap rumah didominasi oleh bahan kayu, meskipun ada beberapa rumah yang sudah dibeton, itu pun karena bantuan pemerintah.

Saat itu, air laut sedang surut-surutnya. Dan tanpa pikir panjang, saya langsung melepaskan sepatu dan melipat kaki celana panjang. Karena untuk mendekati perkampungan itu, saya harus melewati lumpur setinggi betis.

Setidaknya, sejak tahun 1960-an, suku laut ini mulai membuat pondokan di kawasan Kawal. Seperti yang dikatan Aman Arafah, sesepuh di pemukiman ini. Awalnya hanya sekitar 4-5 kepala keluarga yang datang. Saat ini mereka berjumlah sekitar belasan kepala keluarga. Mereka berdatangan dari pulau Kubung. “30 menit menggunakan speedboat dari Batam,” kata pria setengah baya ini.

Saat ini, kata Aman, pemerintah sedikit membantu kehidupan suku laut yang bermukim di kawasan Kawal. “Mereka mulai membangun pondokan untuk kami. Mendata untuk KTP dan KK. Sebelumnya jangan harap ada uluran tangan,” katanya. Untuk listrik, secara swadaya mereka membeli generator. “Sampai sekarang PLN belum bisa masuk,” katanya.

Hari memang masih siang, sekitar pukul 11.00. Tak heran jika yang terlihat hanya kaum hawa, karena para lelaki sedang melaut dari sebelum shubuh hingga sore hari sebelum matahari terbenam. Jangan bicara soal mesin canggih. Suku laut ini lebih menyukai getek ketimbang kapal motor untuk melaut. Alatnya pun hanya pancing dan tombak.

Keberadaan suku laut ini memang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu. Hal ini saya dapat rasakan dari dialek Melayu mereka yang sangat kental. Maklum, perjumpaan mereka hanya sebatas rumpun Melayu.

Meski memiliki kedekatan dengan budaya Melayu, suku laut ini tidak semua beragama Islam. Animisme masih mendominasi kebanyakan dari mereka. “Di KTP Islam,” kata Santi, ibu 2 orang anak yang merupakan anggota suku laut dengan dialek Melayu kental.

Namun, suku laut ini memang masih sulit untuk tinggal di darat. Walaupun sudah generasi ke sekian. Hal ini karena pandangan mereka yang menganggap hidup ada di laut, sementara daratan hanyalah tempat untuk mengubur jasad mereka yang sudah mati. Setidaknya, itulah yang dikatakan Santi. Nah, jangan heran jika bertatap muka langsung dengan mereka yang masih tinggal di laut. Mata merah, rambut acak-acakan dan tidak suka bicara dengan orang asing dari daratan.

Dulu, kata Santi, orang tua mereka melakukan segala kegiatan di atas sampan. Sampai urusan kawin mawin. “Dulu, jika mau berhubungan badan, cukup menyilangkan dayung di samping sampang,” katanya. Begitulah tanda do not disturb ala suku laut.

Nah, pada pertengahan tahun 2010, pemerintah setempat baru mulai untuk merangkul suku laut. Hal ini dibuktikan dengan pembuatan KTP dan KK bagi mereka, anggota suku laut. Ada yang menerima ada pula yang tidak. Bagi mereka yang menerima, tentunya anak mereka dapat bersekolah, tapi bagi anggota suku yang menolak, tentu saja tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya.

Beberapa orang yang menolak tentu akan terasing dengan sendirinya. Paling tidak, dengan penolakan itu, mereka kembali hidup di laut luas. “Banyak juga orang yang kembali ke laut karena tidak mau mengikuti anjuran pemerintah,” katanya.

Dalam hal ekonomi, tidak ada perputaran uang dalam komunitas mereka. Suku laut masih mengenal sistem barter antar anggota suku. Hal ini saya ketahui ketika melihat banyaknya perhiasan emas seperti anting, kalung dan gelang yang dikenakan Santi. “Oh, ini hasil barter saja. Kalau ada orang yang perlu sesuatu, biasanya dibarter dengan barang yang setara nilainya,” katanya. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka berdagang ikan di pasar Kawal. Paling tidak, kata Santi, kebutuhan rumah sudah terpenuhi, sisanya untuk dijual. “Tidak lebih, tapi juga kami tidak kekurangan. Cukup saja,” katanya.

Menarik. Di tengah perputaran uang, setidaknya di kawasan resor di Bintan, yang sudah mulai menggunakan dolar singapura, ada komunitas yang masih menggunakan barter sebagai metode jual beli. Sangat jauh dari kesan modern yang ditawarkan oleh pemerintah kepada wisatawan asing.

Suku laut, satu dari banyak komunitas di Indonesia yang mampu memberikan pelajaran berharga tentang keberagaman, sejarah panjang dan prinsip hidup yang patut menarik untuk disimak kembali. Setidaknya untuk menyadarkan kita bahwa ada kelompok yang mampu hidup tanpa embel-embel modern. (AK)

Seribu Patung Penjaga Dunia

Ratusan patung dengan raut wajah berbeda menyambut kedatangan wisatawan yang berkunjung ke Tanjungpinang, Bintan. Butuh waktu lebih dari satu dekade untuk mewujudkan vihara yang memiliki jumlah patung terbanyak se-Asia Tenggara ini.

Sebuah benteng raksasa berkelir abu-abu menjulang tinggi di daerah Tangjungpinang, Bintan, Kepuluan Riau. Di sampingnya, berdiri dua patung kstaria yang mengenakan jubah perang ala prajurit China zaman dulu. Sedangkan di bagian atas, terdapat tiga buah bangunan serupa klenteng dengan atap berwarna merah. Gambaran tersebut adalah sebuah gerbang sebelum memasuki objek utama, Vihara Ksitigarbha Bodhisattva.

Vihara tersebut kini menjadi objek wisata teranyar dari daerah Bintan. Bangunan yang fungsi utamanya sebagai tempat ibadah umat Budha itu memiliki keunikan tersendiri dibanding banyak Vihara lainnya. Ya, sesuai namanya, Ksitigarbha Bodhisattva, vihara tersebut memiliki seribu patung. "Mereka semua adalah Luo Han," kata Bobby Jayanto, ketua yayasan Vihara Ksitigarbha Bodhisattva, kepada Gatra.

Dalam ajaran agama Budha, Luo Han disebut Arhat, atau siswa Sang Buddha yang telah mencapai tingkat kesucian dengan memusnahkan segala nafsu. Menurut Bobby, setiap Luo Han kemungkinan besar nantinya akan menjadi dewa. "Tapi melalui proses panjang,� katanya. Para Luo Han ini, dipercaya umat Budha, kelak setelah meninggal akan menjadi relik atau benda yang disucikan. "Karena suci, maka relik mereka kelak akan disembah umat Budha."

Dalam kepercayaan agama Budha, para Luo Han ini digambarkan sebagai pengikut setia Sang Sidharta saat bersemedi. Awalnya, jumlahnya hanya sepuluh. Lambat laun, jumlah pengikut setia ini bertambah menjadi 16, 18 dan seterusnya. Diceritakan oleh Bobby, masing-masing dari Luo Han itu memiliki kesaktian berbeda-beda. "Mereka adalah penjaga dunia. Setiap sudut kehidupan ini mereka yang mengaturnya," kata Bobby.

Sebenarnya, tidak ada catatan sejarah yang tertulis secara rinci bagaimana wujud para Luo Han. Penggambaran pertama 18 Luo Han dibuat oleh Bhikkhu Guan Xiu  yang tinggal di Chengdu, China pada 891 Massehi. Guan Xiu sendiri menggambar para Luo Han dengan bentuk eksentrik, alis tebal, mata lebar, pipi menggantung, dan hidung besar. Semua Luo Han ala Guan Xiu dirupa layaknya gelandangan dan pengemis. Namun, gambaran Luo Han masa kini terlihat lebih modern dengan ekspresi yang beragam.

Ksitigarbha Bodhisattva sendiri menyajikan Luo Han dengan ekspresi kontomporer. Hal inilah yang menjadikan vihara tersebut unik. Satu Luo Han dengan lainnya memiliki ekspresi yang berbeda-beda. Ada   yang tertawa, tersenyum, melirik, membawa senjata tajam, mengendong kera dan macam-macam lagi.

Meski namanya adalah vihara seribu patung, namun sejatinya para Luo Han yang ada di sana tidak sampai segitu jumlahnya. Hal ini bisa diketahui bila dihitung jumlah keseluruhannya. Caranya mudah saja. Jumlah deret Luo Han ke samping, menurut Bobby, antara 50-56. Sedangkan Luo Han itu berjejer 9 shaf. "Jumlah Luo Han di sini 500 dan tidak akan ditambah lagi," kata Bobby. Meski jumlahnya tidak segenap namanya, namun hal itu sudah menjadikan Ksitigarbha Bodhisattva sebagai Vihara dengan jumlah patung terbanyak se-Asia Tenggara.

Vihara ini sendiri dibuat sejak 2004. Baru pada 23 Mei lalu, Vihara ini diresmikan oleh Arief Yahya, Menteri Pariwisata. Meski telah diresmikan, namun menurut Bobby, vihara ini belum 100% rampung. Untuk mempercantik Vihara, saat ini Ksitigarbha Bodhisattva belum dibuka untuk umum. "Mungkin akhir tahun ini akan dibuka," katanya.

Untuk mendirikan vihara tersebut dibutuhkan dana yang tak kecil. Contohnya untuk patung. Satu patung Lou Han, kata Bobby, dibutuhkan dana kurang lebih Rp 20 juta. Sedangkan Ksitigarbha Bodhisattva sendiri memiliki 500 Lou Han. Jadi anggaran untuk patungnya saja, mencapai sekitar Rp 100 milyar. Mahal? Memang. Sebab, semua patung tersebut dipahat seniman asal China.

"Setiap patung memiliki sertifikat resmi dan punya garansi 500 tahun tidak akan rusak," kata Bobby. Itu baru patung, belum gerbangnya dan pelataran untuk sembahyang. Untuk mendapatkan dana sebesar itu, kata Bobby, pihak yayasan mendapat sokongan dana dari banyak pihak yang tak terikat. Para penguasaha tersebut, menurut Bobby, kebanyakan berasal dari Singapura. "Karena pengusaha lokal kita belum terlalu paham."

Saat ini, menurut Bobby, banyak umat Budha di Indonesia dan sekitarnya, sangat ingin mengucapkan keinginannya di hadapan para Luo Han itu. Pasalnya, semua Luo Han memiliki kesaktian, dan beberapa diantarannya mengatur soal reinkarnasi. Nah, banyak dari umat Budha yang ingin berdoa agar para leluhur mereka dapat segera melewati reinkarnasi tersebut. "Jadi, banyak sekali umat yang berharap wihara ini dapat segera dibuka," katanya.

Bila umat Budha datang ke sana untuk beribadah, bagi masyarakat yang berbeda agama bisa juga berkunjung ke vihara tersebut. Pasalnya, vihara yang dirancang sesuai feng shui tersebut dibuka untuk umum. Biayanya, menurut Bobby, seikhlasnya saja. Tentu ada perasaan lain ketika ratusan "mata" memandang Anda dengan raut "wajah" yang berbeda. Selamat mencoba.

Andya Dhyaksa, Aditya Kirana (Bintan)

Senin, 15 Desember 2014

Berharap Vonis Lebih



Berharap Vonis Lebih



Jaksa KPK menyatakan banding atas vonis Anas Urbaningrum karena hukuman penjaranya masih di bawah 2/3 dari tuntutan dan tak ada pencabutan hak politik.Bagaimana sikap Anas?


Bukan Anas Urbaningrum namanya kalau tidak melontarkan celetukan sensasional terkait keterlibatan dirinya dalam kasus korupsi Hambalang. Dua tahun silam, saat belum menjadi tersangka, bekas Ketua Umum Partai Demokrat itu pernah sesumbar bahwa satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas. Rabu pekan lalu, ketika majelis hakim menyatakan  dirinya terbukti korupsi, Anas masih saja berkelit.

Usai mendengar pembacaan vonis, Anas menantang majelis hakim dan jaksa penuntut umum (JPU) melakukan mubahalah atau sumpah kutukan. "Mohon jika diperkenankan di dalam ujung persidangan yang terhormat ini, saya sebagai terdakwa, tim JPU, dan juga majelis hakim yang mulia melakukan mubahalah," ujar Anas di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.  Ajakan Anas ini tidak digubris majelis hakim. Ketua Majelis Hakim Haswandi mengetuk palu tiga kali petanda sidang ditutup.

Aksi Anas itu disindir Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang  Widjojanto. Menurut Bambang, Anas gemar melontarkan ucapan-ucapan yang belakangan terbukti berbeda dengan kenyataan.  Misalnya, jika mengilas balik ucapan Anas mengenai gantung di Monas, hingga hari ini pun tidak bisa diucapkannya lagi. "Juga dengan makanan di KPK yang katanya beracun. Dia makan lahap kok," ujar Bambang.

Tantangan mubahalah dilontarkan Anas setelah majelis hakim menghukumnya pidana delapan tahun penjara, plus denda Rp 300 juta. Tidak itu saja,  politikus kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 57,59 miliar dan US$ 5,26 juta.

Uang denda dan uang pengganti harus dibayar Anas paling lambat satu bulan setelah ada putusan hukum tetap. Jika menolak membayar, maka seluruh aset dan kekayaan Anas disita untuk dilelang negara.  Pun, jika uang yang terkumpul dari hasil lelang masih kurang, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini harus menjalani hukuman tambahan dua tahun.

Dalam putusannya, majelis menyatakan mantan Ketua Fraksi demokrat di DPR itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu subsidair, Pasal 11 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Anas juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berulang kali sebagaimana dakwaan kedua, Pasal 3 UU TPPU jo Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap Anas terbukti menerima hadiah atau janji yang patut diduga diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Menurut majelis hakim, kedudukan Anas sebagai anggota DPR, ketua fraksi dan belakangan menjadi ketua umum Partai Demokrat itu memiliki pengaruh besar untuk mengatur proyek-proyek pemerintah yang dibiayai  dari Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN).

Majelis hakim juga membeberkan modus korupsi yang dilakukan Anas. Menurut majelis hakim, dalam rangka penggalangan dana untuk biaya pemenangan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Anas bekerjasama dengan Nazaruddin memanfaatkan PT Anugerah Nusantara untuk mengumpulkan fee dari ijon proyek-proyek pemerintah yang bersumber dari APBN. Terungkap pula, Anas adalah komisaris PT Anugerah setelah membeli 30 % saham PT Anugerah dari Nazaruddin.

Selain itu, Anas terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 2,21 miliar dari PT Adhi Karya terkait proyek Hambalang. Uang tersebut digunakan Anas untuk biaya pencalonannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada kongres yang digelar di Bandung, 2010 lalu. "Meskipun terdakwa bantah karena ada beda tanggal kasbon dengan pelaksanaan kongres, tapi saksi Teuku Bagus (pegawai PT Adhi Karya) mengatakan bahwa kasbon adalah bon sementara," Sutio Jumagi, anggota majelis hakim, menjelaskan.

Majelis hakim juga mengganggap mobil Toyota Harrier milik Anas berasal dari gratifikasi. Dari fakta persidangan terungkap, mobil mewah seharga Rp 670 juta itu, bukan dibeli Anas dengan cara menyicil tapi dibeli dengan menggunakan uang PT Anugerah. "Keterangan Neneng (istri Nazaruddin) mengatakan dibayarkan dengan uang Rp 150 juta dan cek Rp 520 juta dikuatkan dengan catatan kas Anugerah Grup," papar Sutio.

Anas juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan cara menggunakan uang hasil korupsinya untuk membeli sejumlah tanah dan bangunan. Agar tidak terendus aparat penegak hukum,  Anas menggunakan nama mertuanya, Attabik Ali. Diantaranya, tanah dan bangunan di Duren Sawit, Jakarta Timur seharga Rp 690 juta. Juga beberapa bidang tanah di Yogyakarta dengan total harga Rp 15,7 miliar.

Kendati hampir sebagian besar dakwaan dan bukti-bukti yang disodorkan jaksa KPK diamini majelis hakim, namun vonis ini jauh lebih rendah dari tuntutan. Sebelumnya, di sidang tuntutan pada 11 September lalu, jaksa KPK meminta hakim menghukum Anas 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Anas juga dituntut membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 94,180 miliar dam US$ 5,216 juta. Jaksa KPK juga meminta Anas diberi hukuman tambahan berupa  pencabutan hak politiknya.

Jika membandingkan isi tuntutan dengan vonis, selain hukuman penjara yang belum mencapai 2/3 dari tuntutan, upaya KPK memiskinkan Anas juga masih jauh dari harapan. Yang juga diluar dugaan KPK, - mungkin juga di luar dugaan Anas, majelis hakim menolak pencabutan hak politik Anas. Vonis ini juga tidak bulat. Dua dari lima hakim, yakni Slamet Subagyo dan Djoko Subagyo mengajukan beda pendapat atau dissenting opinion sepanjang terkait jerat TPPU. Keduanya menilai jaksa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan TPPU dalam perkara Anas.

Atas vonis ini, KPK akan mengajukan banding. "Putusan itu masih jauh dari tuntutan jaksa. KPK akan banding," ujar Wakil Ketua KPK,  Bambang Widjojanto. Diakui Bambang, KPK ngotot banding lantaran beberapa dakwaan ditolak, termasuk ditolaknya pencabutan hak politik Anas. Juga dengan putusan yang masih dibawah 2/3 dari tuntutan jaksa. Soal jerat TPPU, KPK berharap Anas dihukum TPPU seperti kasus Djoko Susilo (korupsi simulator di Polri) dengan menarik kasusnya ke belakang. "Itu yang perlu dilakukan untuk memiskinkan Anas," katanya.

Vonis Anas mendapat respon dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut peneliti ICW, Tama S Langkun semestinya majelis hakim menjatuhkan hukuman lebih berat kepada Anas. "Paling tidak dihukum 10 tahun," katanya kepada Putri Kartika Utami dari GATRA.  Untuk itu, Tama melanjutkan, ICW mendukung langkah KPK mengajukan banding agar Anas diganjar hukum berat. "Dipersidangan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang," terangnya.

Berbeda dengan KPK dan ICW, kubu Anas justru sependapat dengan beberapa pertimbangan majelis hakim, khususnya dua hakim yang mengajukan dissenting opinion. "Ini kan TPPU adalah kewenangan Jaksa Agung bukan kewenangan KPK. KPK mengambil kewenangan Jaksa Agung dan ini adalah perbuatan melawan hukum," ujar kuasa hukum Anas, Firman Wijaya kepada Fahmy Fotaleno dari GATRA.  Menurut Firman, karena KPK telah melampaui kewenangan, semestinya secara bijak majelis hakim menyatakan perkara ditutup. "Kalau tidak ada (kewenangan), maka peradilan itu harus menyatakan dirinya tidak berhak mengadili," tukas Firman.

Firman juga sependapat dengan penolakan majelis atas tuntutan pencabutan hak politik Anas. "Soal hak politik yang tidak jadi dicabut, itu rasional dan clear," ujarnya. Sebagai seorang politikus, menurut Firman, Anas adalah politukus tangguh. Ketua Perhimpunan Pergerakan Indonesia ini akan melawan jika hukum digunakan sebagai alat untuk 'membunuh' karir politiknya.  "Anas menghargai vonis tersebut, tapi pencarian keadilan tidak boleh berhenti karena keadilan itu tidak hanya di ruang pengadilan, tapi juga di ruang publik," tuturnya.

Sementara itu, loyalis Anas, Ma'mun Murod Al-Barbasy menilai ada upaya membunuh karir politik Anas secara perlahan-lahan. Meski pencbutan hak politik ditolak, namun Anas diganjar hukuman delapan tahun penjara. Jika tidak bisa membayar uang pengganti, Anas terancam menjalani hukuman 10 tahun penjara. "10 tahun itu kan dua kali pemilu. Dua kali pemilu itu usia Anas sudah 55 tahun. Jadi ini sebenarnya pembunuhan hak politik secara tidak langsung," terang Ma'mun.

Sujud Dwi Pratisto dan Aditya Kirana

= = =
Boks :

Menakar Kekayaan Anas


Majelis hakim tindak pidana korupsi menyatakan Anas Urbaningrum terbukti bersalah dalam kasus korupsi Hambalang dan tindak pidana pencucian uang. Selain dihukum kurungan badan, Anas juga diganjar hukuman denda Rp 300 juta serta membayar uang pengganti kerugian negara Rp 57,59 miliar dan US$ 5,26 juta. Yang jadi pertanyaan, apakah Anas sanggup membayar uang denda dan uang pengganti yang jika ditotal lebih dari Rp 100 miliar? Pertanyaan berikutnya, berapa aset dan kekayaan Anas?

Laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) bisa dijadikan rujukan untuk mencari tahu berapa kira-kira nilai aset dan kekayaan seorang pejabat negara, seperti Anas. Anas mulai menyandang status pejabat negara setelah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2001 - 2005.  Anas pertama kali menyetorkan LHKP nya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 10 Mei 2005. Di LHKPN, Anas mencantumkan total aset dan kekayaannya sebesar Rp 1,17 miliar dan US$ 2.300. 

Lepas dari KPU, Anas memulai karir politiknya dengan bergabung di Partai Demokrat. Di partai berlambang bintang mercy itu, Anas didapuk sebagai Ketua Bidang Politik dan Otonomi Daerah. Dalam rangka pencalonan dirinya sebagai anggota DPR, pada 28 Desember 2007, Anas kembali melaporkan LHKP ke KPK. Di LKHP itu, Anas mencantumkan total aset dan kekayaannya  sebesar Rp 2,23 miliar dan US$ 2.300, atau menggelembung hingga dua kali lipat dibanding LHKPN pertamanya.

Pada 2009, Anas terpilih menjadi anggota DPR.  Di Senayan, Anas menduduki kursi Ketua Fraksi Demokrat. Satu tahun kemudian (2010), Anas mundur dari DPR karena terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, dalam kongres yang digelar di Bandung. KPK menyebut Anas sudah menyetorkan LHKPN pada Februari 2010, tapi KPK belum melakukan verifikasi. Inilah yang menyebabkan publik tidak bisa mengakses data LHKPN Anas itu.

Begitu KPK menetapkan Anas sebagai tersangka korupsi Hambalang dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Maret lalu, media mulai ramai menelusuri aset dan kekayaan Anas. Dari penelusuran media, diduga sejak terpilih menjadi orang nomor satu di Demokrat, pundi-pundi uang Anas terus beranak pinak. Diduga pula uang itu berasal dari Group Permai dan PT Anugerah Nusantara, dua perusahaan yang dikelola Anas bersama mantan Bendahara Umum Demokrat, Nazaruddin.  Total aset dan kekayaanya Anas diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.

Ketika dikonfrimasi GATRA, kuasa hukum Anas, Firman Wijaya tak mengiyakan tapi juga tak menyangkal soal dugaan Anas memiliki aset dan kekayaan ratusan miliar. Menurut Firman, soal berapa banyak aset Anas, KPK yang jauh lebih tahu. Sejak awal KPK menuding Anas sebagai pemilik Group Permai dan PT Anugerah. Tapi, ungkap Firman, ketika pihak Anas meminta KPK menyita dua perusahaan itu, KPK enggan melakukannya. "Apa masalahnya tidak disita. Kan aset perusahaan itu dituduhkan punya Mas Anas dan kami minta agar disita. Itu trilyunan asetnya," ujar Firman kepada Fahmy Fotaleno danri GATRA.

Sementara itu, loyalis Anas, Ma'mun Murod Al-Barbasy mengatakan hukuman membayar uang pengganti yang dibebankan kepada Anas, tidak masuk akal. Apalagi nilainya yang fantastis. "Uangnya itu dari mana? Mulai dari rumah hingga celana kolor Anas kalau dijual pun tidak akan cukup untuk mengganti uang tersebut,?" kata Ma'mun.

Sujud Dwi Pratisto dan Aditya Kirana

Tender Panas Pemadam Kebakaran


Tender Panas Pemadam Kebakaran

Kejaksaan Agung menetapkan Dirut PT Angkasa Pura I sebagai tersangka korupsi pengadaan kendaraan pemadan kebakaran senilai Rp 63 milyar. Pihak Angkasa Pura mengklaim, pengadaan Damkar sudah sesuai prosedur.

Papan nama bertuliskan PT. Merah Delima telah diturunkan sejak dua bulan lalu. Ruko tiga lantai di Jl. Raya Siaga Nomor 3D, Jakarta Selatan itu tampak tertutup. Kaca-kacanya pun gelap terhalang tirai gulung. "Betul itu kantornya PT Merah Delima," ujar Anto (bukan nama sebenarnya) salah seorang pegawai di perusahaan sebelah kantor tersebut.

Menurut Anto, PT Merah Delima adalah perusahaan yang bergerak di bidang survei dan pengurusan dokumen. "Tapi tepatnya dokumen apa saja saya nggak begitu tahu," katanya. PT Merah Delima merupakan mitra PT Scientek Computindo, perusahaan information technology yang menjadi rekanan PT Angkasa Pura I dalam pengadaan lima unit mobil pemadam kebakaran (Damkar) tahun anggaran 2011 senilai Rp 63 milyar.

Kejaksaan Agung mencium ada dugaan korupsi dalam proses pengadaan kendaraan Damkar untuk ditempatkan di Bandara Yogyakarta, Solo, Semarang, Makassar, dan Manado itu. Pada 16 Juli lalu, Kejagung telah menetapkan dua tersangka, yaitu Direktur Utama Angkasa Pura I, Tommy Soetomo dan Direktur PT Scientek Computindo, Hendra Liem. Keduanya terancam hukuman selama 20 tahun penjara sesuai dengan UU Tindak Pidana Korupsi Nomor 31/1999, yang diubah menjadi UU Nomor 21 Tahun 2000.

Orang nomor satu di Angkata Pura I itu diduga menyalahi prosedur pengadaan tender lima unit Damkar tadi. Kejagung pun maraton melakukan pemeriksaan saksi-saksi sejak akhir Agustus lalu. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, R. Widyopramono mengatakan kalau proses pemeriksaan sejumlah saksi dan pengumpulan berbagai alat bukti itu untuk membuktikan dugaan korupsi yang dilakukan Tommy Soemoto terus bergulir. "Proses penanganan di Jampidsus semuanya simultan. Semua bergerak tanpa hari tanpa ada penanganan perkara tersebut," tegasnya kepada Iwan Sutiawan dari GATRAnews.com.

Adapun kaitan dengan Hendra Liem, dugaan kuat yang muncul dia telah melakukan pemalsuan dokumen impor lima unit damkar tadi. Untuk mengurusnya, PT Scientek Computindo menggunakan jasa pihak ketiga, yaitu PT Merah Delima dan PT Strawberry Pratama. Keduanya menjadi pihak Pelayanan Perusahaan Jasa Kepabeanan (PPJK) untuk mendapat dokumen pemberitaan impor barang.  

Pada 10 September lalu, Penyidik Kejagung mengagendakan pemeriksaan terhadap saksi Rudi Prawira Satya dari PT Strawberry Pratama dan Andreas Sarono, General Manager PT Merah Delima. Namun dalam agenda pemeriksaan untuk mendapatkan dokumen Pemberitaan Impor Barang tersebut hanya Andreas saja yang hadir.

GATRA pun mencoba mengonfirmasi dengan menyambangi kantor PT Merah Delima, Selasa lalu. Namun salah seorang pegawainya menolak dengan alasan kesibukan pekerjaan. "Lain kali saja mas, ini sedang sibuk urus kerjaan semuanya," ujar pria yang enggan disebutkan namanya itu.

Cerita lain muncul dalam penelusuran PT Strawberry Pratama. Ada kejanggalan, sebab perusahaan itu memiliki alamat kantor yang sama dengan PT Scientek Komputindo, di Menara Batavia Lt. 10, Jl. KH Mas Mansyur Kav. 126, Karet Tengsin, Tanah Abang. Sumber GATRA di Kejagung menyebutkan kalau kedua perusahaan rekan Angkasa Pura I itu merupakan milik Hendra Liem.

Dugaan itu semakin menguat tatkala Hendra Liem yang mangkir dari pemanggilan Kejagung pada pertengahan September lalu. Keabsenan dia itu juga tanpa keterangan jelas kepada tim penyidik. Sebelumnya Rudi Prawira Satya juga sama-sama tidak memenuhi agenda pemeriksaannya sebagai saksi. 

GATRA mencoba mengonfirmasi Hendra Liem dengan menyambangi kantor PT Scientek Komputindo, Selasa lalu. Namun resepsionis dari kantor perusahaan yang bergerak di bidang peralatan, suplai Electronic Data Processing, sekaligus pemeliharaan itu menyebutkan kalau yang bersangkutan sedang tidak ada di kantor. 

Saat ini, penetapan tersangka dugaan korupsi kasus ini memang masih baru mengena Tommy Soetomo dan Hendra Liem saja. Namun Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Tony Tribagus Spontana  tidak menutup kemungkinan akan adanya tersangka baru. "Saat ini penyidik Kejagung masih terus mengembangkan kasus ini," katanya kepada GATRA.

Ini termasuk juga berkaitan dengan pemanggilan dua saksi dari dua rekan PT Scientek Computindo, yaitu PT Merah Delima dan PT Strawberry Pratama. Namun Tony menjelaskan kalau sejauh ini penyidik memang belum menemukan indikasi keterlibatan kedua saksi tersebut. "Tapi kalau ditemukan cukup bukti dan memungkinkan ke arah sana (penetapan tersangka), kenapa tidak," ia menegaskan.

Dalam waktu dekat ini, menurut Tony, Kejagung akan memanggil Dirut Angkasa Pura I dengan jajaran direksinya. Hanya ia belum bisa menyebutkan kepastian kapan tanggal dan waktunya. Kamis pekan lalu, Kejagung juga telah memeriksa tiga pejabat Angkasa Pura I sebagai saksi. Mereka adalah Yudi Maisa selaku Deputi Direktur Teknik Perencanaan dan Spesifikasi Teknis, Wendo Asrul Rose sebagai Deputi Direktur Teknik dan Pengawasan, dan Agus Swara sebagai Pemeriksa Barang.

Menurut Tony, pemanggilan Yudi untuk mengetahui proses pembuatan dan pengusulan Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) untuk pengadaan mobil damkar. Lalu dari Wendo untuk tahu tentang kronologis dan laporan pelaksanaan pengawasan yang dilakukannya dalam pengadaan mobil damkar oleh PT Scientek Computindo. "Adapun Agus dihadirkan untuk tahu mengenai proses pemeriksaan unit damkar di tahap kedua, saat masa hingga hasil pemeriksaannya," jelasnya.

Penetapan Tommy Soetomo sebagai tersangka ini memang sempat menjadi kontroversi. Sebab itu dilakukan tanpa proses pemeriksaan terlebih dahulu. Berkaitan itu, Tony membantah kalau hal itu melawan prosedur yang ada. Menurutnya, penetapan tersangka bukan dari pemeriksaan saja, tapi dari bukti lain seperti saksi, dokumen atau surat-surat. Juga dari keterangan ahli dan dari petunjuk yang didapat oleh penyidik.

Sekretaris Perusahaan Angkasa Pura I, Farid Indra Nugraha mengatakan kalau proses pengadaan lima unit Damkar itu telah sesuai prosedur. Bahkan pengadaannya berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi. "Memang yang menandatangani proyek itu Direktur Utama, tapi secara detil tidak tahu apa-apa," katanya.

GATRA pun berupaya meminta waktu wawancara dengan Tommy Soetomo. Namun permohonan via email yang ditujukan melalui humas Angkasa Pura I belum bisa terpenuhi. "Karena proses ini masih berlanjut oleh kejaksaan, maka yang dapat disampaikan adalah Direktur Utama kami akan tetap mengikuti mekanisme dan proses yang ditetapkan oleh Kejaksaan," kata Humas Angkasa Pura I dalam jawaban emailnya.
 
Birny Birdieni, Sya'bani Takdir, dan Aditya Kirana

Aliran Cuci Uang Bupati Karawang

Aliran Cuci Uang Bupati Karawang

Bupati Karawang Ade Suwara dan istrinyam Nurlatifah menghadapi jerat tindak pidana pemerasan dan pencucian uang. Pasangan suami istri ini mengklaim aset puluhan milyar mereka berasal dari bisnis usaha pribadi.  

Selasa siang lalu, menjadi hari "besar" bagi Bupati Karawang, Ade Swara dan istrinya yang juga anggota DPRD Karawang, Nurlatifah.. Sebab berkas pemeriksaan pasangan tersangka tindak pidana pemerasan dan pencucian uang ini telah resmi dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung. Dengan demikian, sidang pasangan suami istri inipun akan mulai dilakukan dalam waktu dua pekan mendatang.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya sudah menyatakan perkara itu lengkap sejak pertengahan November lalu. Penahanan Ade Swara dan Nurlatifah sudah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. "Keduanya akan disidang di Pengadilan Tipikor Bandung," ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi. 

Pada 18 Juli lalu, KPK telah menetapkan Ade Swara dan Nurlatifah sebagai tersangka pemerasan terhadap PT Tatar Kertabumi. Keduanya diduga meminta uang Rp 5 milyar dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada 17 Juli hingga 18 Juli 2014 dini hari di rumah dinas Bupati Karawang, di Jalan Siliwangi, Karawang. Uang itu sebagai pelicin untuk menerbitkan surat ijin membangun mall di Karawang. Ada delapan orang yang diamankan KPK. Diantaranya Ade Swara, Nur Latifah dan  adik ipar Ade Swara.

Lalu pada 7 Oktober 2014, KPK juga menetapkan Ade Swara dan Nurlatifah sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penetapan pasal ini tak lepas dari hasil pengembangan KPK terhadap penyidikan dugaan pemerasan keduanya. Ada indikasi tersangka mentransfer, menempatkan, serta mengubah bentuk harta yang diduga dari tindak pidana korupsi, menjadi aset perusahaan milik Ade.

Usaha milik Ade Swara melesat jauh sepanjang empat tahun terakhir ini. Aset yang mencapai puluhan milyar rupiah ini meningkat secara tidak logis sejak ia menjabat sebagai Bupati Karawang tahun 2010 lalu. Ada dugaan kalau uang itu didapat dari sumber dana yang tidak jelas.

Ketika dikonfrontir, Ade Swara dan Nurlatifah tidak bisa menjelaskan transfer dana tidak jelas yang masuk ke dalam rekening mereka. "Hanya mengaku sumbernya dari usahanya, tapi tidak bisa dibuktikan," kata Sumber Gatra di KPK. Dugaan itu diperkuat pengakuan beberapa saksi yang menyebutkan kalau mereka pernah memberi sumbangan berkesan dipaksakan. Bahkan aksi itu dilakukan sebelum operasi tangkap tangan keduanya.

Ada dugaan kalau hasil "uang peras" yang Ade Swara dan Nurlatifah lakoni ini kemudian diputar untuk membuka usaha bernilai milyaran rupiah. Ade Swara mengaku memiliki usaha di bidang pertambangan emas,  bisnis pertokoan, dan usaha budi daya sarang burung walet. Namun Sumber GATRA mengatakan, pertanggungjawaban asal muasal uang modal usahanya darimana tidak bisa dibuktikan keduanya.

Sebagai tindak lanjut, KPK memang telah menyegel sejumlah aset milik Ade Swara dan Nurlatifah. Harta yang diamankan itu berupa aset bergerak, seperti kendaraan hingga harta tak bergerak, yaitu lahan dan properti rumah. Ada lahan seluas 16 hektare di empat lokasi berbeda yang telah disita. Salah satunya, sawah seluas 700 meter persegi di Karawang yang diatasnamakan anaknya, Gina F Swara. Juga sebuah rumah di Pulau Raya, Jakarta.

Menurut kuasa hukum Ade Swara, Haryo Budi Wibowo, lahan yang KPK sita itu masih kategori skala kecil dibandingkan penghasilan yang didapatkan kliennya dari bisnis sarang burung walet dan emas. Lahan 700 meter persegi milik Gina Swara memang dibenarkan Haryo telah disita KPK.  Tanah yang dibeli dengan harga Rp 30 juta itu rencananya akan dibangun menjadi kos-kosan. "Karena lokasinya dekat dengan daerah pabrik," katanya kepada GATRA.

Lahan yang diamankanl KPK ini merupakan aset yang pembeliannya berlangsung setelah Ade Swara dilantik. Seperti rumah pribadi di Jl. Japati, Bandung bebas dari aksi sita menyita. Sebab waktu kepemilikan properti tersebut jauh sebelum Ade Swara menjabat Bupati Karawang tahun 2010 lalu.

Di luar itu, Haryo menjelaskan, Ade Swara juga sempat melego beberapa asetnya pada tahun 2010 lalu. Untuk mengalihkan bisnis usahanya ke sektor industri, Ade Swara menjual sarang burung waletnya senilai Rp 12,5 milyar. Klaim Haryo, kliennya itu sudah kaya sedari dulu, bahkan sejak tahun 1980-an.

Meski bisnis Ade Swara beraset besar, Haryo mengatakan kalau usaha kliennya tersebut masih bersifat konvensional. "Artinya tidak ada pembukuan secara administratif," ujarnya. Nah Haryo mempertanyakan perihal tuduhan TPPU itu. "Jadi dari mana bisa dibuktikan ada TPPU," ia menegaskan. 

Haryo melihat kasus ini sebenarnya lebih kepada kasus suap dari pihak swasta kepada Kepala Daerah. "Cenderung ke gratifikasi, karena ada iming-iming," katanya. Namun bila menilik dari sisi kepentingan, menurutnya Ade Swara tidak memiliki tendensi apa pun. "Apalagi masalah uang, dia (Ade Swara) kan sudah kaya sebelum jadi Bupati," ia menambahkan.

Adapun menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Dian Andriawan harus dibuktikan "predicate crime" dari aksi TPPU yang disangkakan pada Bupati Karawang, Ade Swara dan istrinya Nurlatifah. "Disebutkan objek TPPU adalah uang hasil kejahatan. Nah kejahatannya apa yang sudah dilakukan itu harus jelas," katanya.

Dian menjelaskan, dalam pasal 69 TPPU memang menyebutkan tidak perlu ada pembuktian tindak pidana asal selama proses penyelidikan hingga pengadilan. Namun harus kembali kepada ketentuan hukum materilnya. Objek dari Undang-Undang TPPU adalah uang tindakan kejahatan. Dalam hal ini, hasil korupsi yang dicuci dan dihalalkan lewat money laundring.  

Nah menurut Dian, KPK harus membuktikan tindak pidana korupsi Ade Swara lebih dulu sebelum masuk ke ranah TPPU. Nantinya, uang hasil dari korupsi itu harus bisa dibuktikan ada hubungan dengan duit objek TPPU tadi.

Birny Birdieni, Anthony Djafar, dan Aditya Kirana




Rabu, 25 Mei 2011

Membaca Kembali Skema Lama, Menata Kembali Nusantara. (Sebuah Refleksi Ringan) Oleh: Aditya Kirana.


 
Beberapa tahun sudah pasca krisis ekonomi melanda seantero dunia. Bukan hanya menebar ketakutan akan kemisikinan, namun juga menebar rasa haus akan daerah koloni baru dalam jaman modern. Kegelisahan tentang rapuhnya kekuatan ekonomi negara adidaya tak pelak lagi menjadi stimulan bagi mereka yang tak juga merasa puas dengan hasil yang didapatkan. Ada banyak hal yang membuat  negara dunia ketiga harus lebih waspada, meningkatkan kemampuan untuk berpikir bahwa mereka hidup dalam system global yang menggerus siapa yang lemah, dalam artian lemah analisis system dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, perang antar rumpun kerap terjadi. Thailand dengan Kamboja, India dengan Pakistan, dan hampir saja terjadi perang Indonesia dengan Malaysia. Belum hitungan penetrasi kekuatan militer AS di Irak, Mesir dan Libya. Segelintir negara di Dewan Keamanan PBB menyayangkan penyerangan atau invasi militer AS. Mereka menganggap bahwa Barrack Obama tidak konsisten dengan misi yang dibawanya sebelum menduduki posisi top leader AS. China dan Rusia menjadi pendebat keras AS dalam hal invasi bersenjata mereka ke Mesir dan Libya. Walaupun tersirat sangat banyak kepentingan didalamnya, tak mustahil bahwa rasa haus akan daerah koloni bagi negara gemuk seperti AS harus tersalurkan.
Hal ini harus menjadi pertanda bagi Indonesia. Pertanda bahwa segala tindakan yang diambil haruslah setaktis mungkin. Indonesia haruslah menjadi Negara yang gemuk bukan hanya dalam tinjauan luas geografis dan kuantitas masyarakatnya namun juga gemuk dalam pengaruh diplomatik walaupun hanya dalam regional Asia Tenggara. Dipenghujung abad 20, Indonesia tidak memiliki satupun gagasan yang dapat menjadi patokan dasar ASEAN. Alasan mengapa Indonesia harus memiliki pengaruh yang kuat di Negara-negara ASEAN adalah karena persinggungan yang memicu konflik pada daerah serumpun dapat dikatakan kecil. Selain karena memiliki persamaan kultural, mereka juga memiliki kesamaan cara pandang ekonomi politik walaupun tidak semua negara serumpun memiliki kesepakatan tentang konsepsi ekonomi politik mereka karena kepentingan Negara inti (baca: core).
Perangkat-perangkat negara harus lebih efektif dalam menangkap sinyal-sinyal dari negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi politik. Menjadi pengalaman pahit kita ketika GusDur mengitari Asia hanya untuk meyakinkan negara-negara kuat Asia akan pentingnya kesatuan perangkat moneter di Asia seperti pembentukan mata uang region Asia sebagai pembanding dari Euro yang bahkan pada saat itu masih dalam tahap pembahasan, namun sayangnya beberapa pihak di dalam negeri tidak memiliki pandangan geostrategi yang cukup baik, untuk tidak mengatakan buruk.
Saat ini seluruh energi negara hanya dihabiskan dalam pertarungan politik dalam negeri. Kita jarang bahkan nyaris tidak pernah menganggap bahwa kita merupakan warga dari habitat global. Maka karena itulah kita jarang menangkap sisi-sisi pertarungan politik dunia. Bahkan kita hanya menganggap peta pertarungan politik global hanyalah teori konspirasi yang tidak ada hubungannya dengan keadaan dalam negeri.
Bila dipandang dari sisi regional, Indonesia harus mampu mengembangkan sayap lebih lebar karena mau tidak mau, suka tidak suka kita diperhadapkan dalam skema pertarungan global yang mengerucut pada tiga kutub utama kekuatan dunia. Rusia, China dan AS. Lihatlah bagaimana AS membombardir Libya, Mesir, dan Irak. Ikut serta dalam konflik India-Pakistan, mulai melucuti persenjataan Iran dan lain-lain. Hal ini harus dipandang dalam frame geostrategi. Secara geografis, mulai dari Libya, Mesir, Irak, Iran, dan Pakistan berada dalam satu garis lurus menuju China. Aliran minyak mentah di belahan Afrika mengalir deras menuju Timur Tengah dan bermuara ke China. Tak heran apabila kemudian Rusia dan China menjadi pendebat paling keras tentang operasi militer AS ke Libya dan negara-negara Afrika Utara lain.
Di sisi lain, China sangat gencar menghembuskan isu China-Asean Free Trade Area (CAFTA), selain penguatan struktur ekonomi di Asean, China juga harus lebih preventif menghadapi tekanan AS kepada negara-negara sekutunya dengan cara mengambil jalan lain menuju Asia Pasifik.
Menghadapi skema demikian, pemerintah Indonesia, dari pusat hingga lokal, tak pelak lagi wajib untuk ‘sedikit berpikir’ tentang segala kemungkinan. Menganalisis sedetail mungkin mozaik-mozaik tersebut diatas demi kepentingan nasional kita. Kebangkitan nasional bukanlah momentum untuk mengadakan upacara bersama. Tapi merupakan refleksi atas keberuntungan Indonesia secara geografis yang kemudian turut menghadirkan keberuntungan politik, ekonomi, sosiokultural dan pertahanan.
Akademisinya harus lebih mengedepankan tatanan keilmuan yang lepas dari tendensi dalam beragam sisi atau lintas disipliner. Jangan lagi terjebak dalam arus politisasi massal kaum akademisi yang berlangsung setiap hari dalam bangsa ini. Kita perlu konsepsi yang mendalam atas segala kekisruhan global. Kaum akademisi yang patut untuk menjawabnya.
Agamawannya haruslah menjadi penjaga moral bangsa. Tak perlu lagi bertikai karena perbedaan ideology dan pandangan keagamaan. Cukuplah kita, sejak kemerdekaan hingga saat ini, dipermainkan dengan tema-tema impor. Marilah kita menghayati multikulturalisme sebagai kenyataan hidup berbangsa.
Mahasiswanya harus lebih banyak belajar memagari diri dari keserakahannya sendiri. Membuka cakrawala pemikiran seluas-luasnya tanpa perlu ragu-ragu. Membaca setiap perubahan, mengecap segala perbedaan bangsa agar dapat mengenali jati dirinya sendiri, menelurkan karya-karya nyata demi satu tujuan. Kaum indonesianis sudah menelanjangi sejarah kita, kebudayaan kita, system politik ekonomi kita. Tapi mampukah kita melakukan pembacaan balik terhadap mereka?
Segaris tulisan ini hanyalah refleksi. Dibalik segala kesulitan pasti terselip kemudahan. Sesakit-sakitnya kita menerima pukulan, janganlah harapan tentang masa depan yang terang benderang itu sirna. Sejarah pasti menyimpan patahan-patahan dan pengulangan-pengulangan.