Aliran Cuci Uang Bupati Karawang
Bupati Karawang Ade Suwara dan istrinyam
Nurlatifah menghadapi jerat tindak pidana pemerasan dan pencucian uang.
Pasangan suami istri ini mengklaim aset puluhan milyar mereka berasal
dari bisnis usaha pribadi.
Selasa siang lalu, menjadi hari "besar" bagi
Bupati Karawang, Ade Swara dan istrinya yang juga anggota DPRD Karawang,
Nurlatifah.. Sebab berkas pemeriksaan pasangan tersangka tindak pidana
pemerasan dan pencucian uang ini telah resmi dilimpahkan ke Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung. Dengan demikian, sidang
pasangan suami istri inipun akan mulai dilakukan dalam waktu dua pekan
mendatang.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya
sudah menyatakan perkara itu lengkap sejak pertengahan November lalu.
Penahanan Ade Swara dan Nurlatifah sudah dipindahkan ke Lembaga
Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. "Keduanya akan disidang
di Pengadilan Tipikor Bandung," ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi.
Pada 18 Juli lalu, KPK telah menetapkan Ade
Swara dan Nurlatifah sebagai tersangka pemerasan terhadap PT Tatar
Kertabumi. Keduanya diduga meminta uang Rp 5 milyar dalam operasi
tangkap tangan yang dilakukan KPK pada 17 Juli hingga 18 Juli 2014 dini
hari di rumah dinas Bupati Karawang, di Jalan Siliwangi, Karawang. Uang
itu sebagai pelicin untuk menerbitkan surat ijin membangun mall di
Karawang. Ada delapan orang yang diamankan KPK. Diantaranya Ade Swara,
Nur Latifah dan adik ipar Ade Swara.
Lalu pada 7 Oktober 2014, KPK juga menetapkan
Ade Swara dan Nurlatifah sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana
pencucian uang (TPPU). Penetapan pasal ini tak lepas dari hasil
pengembangan KPK terhadap penyidikan dugaan pemerasan keduanya. Ada
indikasi tersangka mentransfer, menempatkan, serta mengubah bentuk harta
yang diduga dari tindak pidana korupsi, menjadi aset perusahaan milik
Ade.
Usaha milik Ade Swara melesat jauh sepanjang
empat tahun terakhir ini. Aset yang mencapai puluhan milyar rupiah ini
meningkat secara tidak logis sejak ia menjabat sebagai Bupati Karawang
tahun 2010 lalu. Ada dugaan kalau uang itu didapat dari sumber dana yang
tidak jelas.
Ketika dikonfrontir, Ade Swara dan Nurlatifah
tidak bisa menjelaskan transfer dana tidak jelas yang masuk ke dalam
rekening mereka. "Hanya mengaku sumbernya dari usahanya, tapi tidak bisa
dibuktikan," kata Sumber Gatra di KPK. Dugaan itu diperkuat pengakuan
beberapa saksi yang menyebutkan kalau mereka pernah memberi sumbangan
berkesan dipaksakan. Bahkan aksi itu dilakukan sebelum operasi tangkap
tangan keduanya.
Ada dugaan kalau hasil "uang peras" yang Ade
Swara dan Nurlatifah lakoni ini kemudian diputar untuk membuka usaha
bernilai milyaran rupiah. Ade Swara mengaku memiliki usaha di bidang
pertambangan emas, bisnis pertokoan, dan usaha budi daya sarang burung
walet. Namun Sumber GATRA mengatakan, pertanggungjawaban asal muasal
uang modal usahanya darimana tidak bisa dibuktikan keduanya.
Sebagai tindak lanjut, KPK memang telah
menyegel sejumlah aset milik Ade Swara dan Nurlatifah. Harta yang
diamankan itu berupa aset bergerak, seperti kendaraan hingga harta tak
bergerak, yaitu lahan dan properti rumah. Ada lahan seluas 16 hektare di
empat lokasi berbeda yang telah disita. Salah satunya, sawah seluas 700
meter persegi di Karawang yang diatasnamakan anaknya, Gina F Swara.
Juga sebuah rumah di Pulau Raya, Jakarta.
Menurut kuasa hukum Ade Swara, Haryo Budi
Wibowo, lahan yang KPK sita itu masih kategori skala kecil dibandingkan
penghasilan yang didapatkan kliennya dari bisnis sarang burung walet dan
emas. Lahan 700 meter persegi milik Gina Swara memang dibenarkan Haryo
telah disita KPK. Tanah yang dibeli dengan harga Rp 30 juta itu
rencananya akan dibangun menjadi kos-kosan. "Karena lokasinya dekat
dengan daerah pabrik," katanya kepada GATRA.
Lahan yang diamankanl KPK ini merupakan aset
yang pembeliannya berlangsung setelah Ade Swara dilantik. Seperti rumah
pribadi di Jl. Japati, Bandung bebas dari aksi sita menyita. Sebab waktu
kepemilikan properti tersebut jauh sebelum Ade Swara menjabat Bupati
Karawang tahun 2010 lalu.
Di luar itu, Haryo menjelaskan, Ade Swara
juga sempat melego beberapa asetnya pada tahun 2010 lalu. Untuk
mengalihkan bisnis usahanya ke sektor industri, Ade Swara menjual sarang
burung waletnya senilai Rp 12,5 milyar. Klaim Haryo, kliennya itu sudah
kaya sedari dulu, bahkan sejak tahun 1980-an.
Meski bisnis Ade Swara beraset besar, Haryo
mengatakan kalau usaha kliennya tersebut masih bersifat konvensional. "Artinya tidak ada pembukuan secara administratif," ujarnya. Nah Haryo
mempertanyakan perihal tuduhan TPPU itu. "Jadi dari mana bisa dibuktikan
ada TPPU," ia menegaskan.
Haryo melihat kasus ini sebenarnya lebih
kepada kasus suap dari pihak swasta kepada Kepala Daerah. "Cenderung ke
gratifikasi, karena ada iming-iming," katanya. Namun bila menilik dari
sisi kepentingan, menurutnya Ade Swara tidak memiliki tendensi apa pun. "Apalagi masalah uang, dia (Ade Swara) kan sudah kaya sebelum jadi
Bupati," ia menambahkan.
Adapun menurut pakar hukum pidana Universitas
Trisakti, Dian Andriawan harus dibuktikan "predicate crime" dari aksi
TPPU yang disangkakan pada Bupati Karawang, Ade Swara dan istrinya
Nurlatifah. "Disebutkan objek TPPU adalah uang hasil kejahatan. Nah
kejahatannya apa yang sudah dilakukan itu harus jelas," katanya.
Dian menjelaskan, dalam pasal 69 TPPU memang
menyebutkan tidak perlu ada pembuktian tindak pidana asal selama proses
penyelidikan hingga pengadilan. Namun harus kembali kepada ketentuan
hukum materilnya. Objek dari Undang-Undang TPPU adalah uang tindakan
kejahatan. Dalam hal ini, hasil korupsi yang dicuci dan dihalalkan lewat
money laundring.
Nah menurut Dian, KPK harus membuktikan
tindak pidana korupsi Ade Swara lebih dulu sebelum masuk ke ranah TPPU.
Nantinya, uang hasil dari korupsi itu harus bisa dibuktikan ada hubungan
dengan duit objek TPPU tadi.
Birny Birdieni, Anthony Djafar, dan Aditya Kirana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar